Friday, May 06, 2011

WatchDog-ku Sayang

apa media sudah kehabisan stok berita ya?
kok sampai sempat-sempatnya kita, unggah berita asumsi tentang media arab yang tak ikut memberitakan dongeng wedding itu?? EGP gitu loh !

ya wis toh, hak media Arab untuk tidak lebay dan latah menyiarkan dongeng wedding yang tak penting. Lebih baik ngurusi prioritas berita dalam negeri mereka yang butuh penanganan dan keseriusan. Mereka lebih bertindak pinter, dan menjauhi mental inlander !

Lha daripada media kita yang ramai-ramai live streaming, buat apa juga?

saya bukan arabroadcaster atau araboy yang membela mereka karena alasan rasial dan atau sentimental.


Saya aseli warga Indonesia yang cinta Indonesia, termasuk media dan pewartanya. Justeru dengan kritik ini, saya mau jurnalisme kita kembali berlari pada profesi "watchdog"nya. Bukankah masih banyak berita nasional dan daerah yang layak diunggah? seperti gempa Aceh kemarin yang bikin panik orang sana? kenapa tidak diberi perhatian minimal sama?


Ada juga prestasi anak-anak pertiwi di luar negeri yang hebatnya luar biasa. Kenapa tidak diberitakan semeriah ini? malu aku, kita ikut-ikutan tepuk tangan, larut dalam perayaan dan komentar cengengesan, tersihir pengalihan isu 'royal wedding" itu yang entah manfaatnya apa buat negeri kita? sementara kita acuh membiarkan warga aceh sana mendelik bergidik ketakutan berlarian???


Biarlah saya dituding sok nasionalis atau kurang gaul, jika narasi ini dirasa terlalu normatif dan mencolot keluar dari arus utama.. biarlah.. saya menghormati saja jika ada yang lebih suka ditindih "stockholm syndrome": tersandera oleh perkosaannya industri sindikasi media, tapi malah merem-melek-mesem menikmatinya...


Pesan pengiling untuk rekan-rekan saya alumni AWS tercinta:


"Besok kalau nulis berita yang cerdas ya? berita kawin sosialita cukup 5-10 menit saja di slot infotainment seperti biasanya... tak perlu heboh booming apalagi pake ribut live streaming kayak baru pertama sightseeing "the royal kucing wedding on terrace genting".


Ah patologi pariah, kapan negeri ini steril dari gosip sampah, pengalihan isu murah, dan penyakit "inlander keminter nan keblinger"?


salam jurnalis kritis & skeptis !
GA9

Thursday, April 28, 2011

Istighosah Gurah Sampah

Beberapa waktu lalu berita buruk datang dari Bali. Tiga belas wisata andalan, diantaranya Pantai Kuta, Sanur, Candidasa dan Soka, mutu air lautnya dinyatakan tercemar. Sebelumnya dikabarkan tumpukan sampah berserak mengotori pantai Bali, sehingga mengganggu kenyamanan para turis yang datang. Kian seru drama “soal sampah” ini manakala Andrew Marshall menulis artikel berjudul ‘Holidays in Hell: Bali’s Ongoing Woes’ di Majalah Time awal April lalu.

Menanggapi tulisan “Liburan di Neraka” itu, Menbudpar Jero Wacik, dalam wawancaranya dengan satu media mengatakan, “Sampah ini diduga kuat berasal dari Jawa Timur dan Bali barat karena sampah yang berupa gelondongan kayu dan kotoran lainnya dibawa dari barat dan terdampar di Teluk Jimbaran, sehingga Pantai Kuta dan Legian menjadi tempat buangan sampah tersebut," ujarnya. Sepintas, pernyataan ini sarat asumsi dan perlu didalami untuk pembenarannya.

Namun penulis sepakat dengan himbauan Gubernur Bali Made Mangku Pastika, agar masyarakat tak reaktif menyikapi pemberitaan majalah Amerika itu. Percuma juga kalau marah-marah mencari siapa yang salah, karena masalah akan kian runyam.

Misalnya, masyarakat Bali marah menyalahkan Time, orang Jawa Timur terhina dengan pernyataan Pak Menbudpar, dan seterusnya. Indonesia akan kembali jadi korban bulan-bulanan media luar negeri karena sering berantem dan saling menyalahkan diantara saudara sebangsa sendiri.

Refleksi dan intropeksi adalah tindakan yang patut disegerakan mereaksi persoalan sampah ini. Belajar dari kasus sampah Bali ini, ternyata mata rantai persoalan sampah ini kembali ke perilaku masyarakat sendiri. Dari laut dan sungai --lokasi favorit masyarakat untuk tempat pembuangan akhir--, air berhasil mengedarkan sampah dan sekaligus masalah kemana-mana. Selain mengancam kesehatan, sampah juga memicu ketidaknyamanan, mengundang aroma busuk, dan mencemari kelestarian lingkungan.

Maka tindak lanjut dari refleksi dan intropeksi itu adalah ejawantah aksi serempak berjamaah: istigosah gurah sampah. Istighotsah secara istilah bermakna meminta pertolongan ketika keadaan sukar dan sulit. Terutama saat menghadapi fakta persoalan sosial dan lingkungan yang kian mengkhawatirkan.

Istighosah juga dapat dimaknai sebagai rumusan pengamalan kepedulian sosial dari praktik ritual formal yang seringkali digelar secara massal. Nah, terkait persampahan, tepat kiranya bila jamaah istighosah digerakkan dalam aksi gurah bersih-bersih dan swakelola sampah. Mengingat persoalan sampah negeri ini kerap luput diperhatikan, sementara dampak keburukannya sudah jadi wabah akut yang butuh keseriusan dan kecepatan penanganan.

Dimulai dari hulu sumber muasal sampah yakni dari rumah tangga, tempat usaha, lembaga pendidikan, fasilitas umum, rumah ibadah, dan industri. Sampah dari tempat-tempat itu harusnya bisa dikurangi, dipakai kembali, didaur ulang, dan dimanfaatkan kembali. Prinsip reduce, re-use, recycle, replace (4R) menjadi keharusan.

Kurangi konsumsi barang/material yang diinginkan. Karena kian sering mengonsumsi, kian banyak sampah dihasilkan. Pilihlah materi yang bisa dipakai kembali dan hindari penggunaan barang yang “sekali pakai buang”. Yang sudah tidak terpakai, dapat didaur ulang. Ganti barang sekali pakai dengan yang awet lama. Gunakan bahan yang ramah lingkungan, misalnya sediakan tas kantong dari rumah sebagai pengganti plastik keresek pembungkus belanjaan.

Tiga hulu sumber khusus, yakni rumah tangga, rumah ibadah, dan institusi pendidikan harus jadi pelopor dalam praktik istighosah gurah sampah ini. Karena bagian penting dari proses ini adalah reduksi sampah dari sumbernya. Caranya dengan mengurangi nafsu konsumtif berlebihan sehingga jumlah sampah bisa ditekan atau menggunakan prinsip 4R tadi agar sampah bisa mudah diolah. Rumah tangga, rumah ibadah, dan sekolah bisa jadi juru kampanye sekaligus peneladan yang efektif dalam upaya pengurangan sampah tersebut.

Proses dari hulu, proses angkut, hingga di hilir pengelolaan akhir (TPA), prinsip 4R dan mekanisme pilah sampah harus nyambung. Ketika dari rumah sudah dipilah, maka saat diangkut pun harus dipisah jenis sampahnya. Sehingga nantinya proses olah sampah tidak melulu “kumpul, angkut, buang, timbun” sebagaimana pendekatan akhir (end of pipe) yang sudah jamak digunakan. Nantinya juga, masyarakat tidak patut menghindar dari kewajiban olah sampah hanya karena sudah bayar iuran kebersihan bulanan.

Sampah akan terus bertambah seiring pertumbuhan penduduk dan tingkat konsumsi yang kian meninggi. Belum lagi kiriman sampah dari negara berkembang, maka layak jika persoalan sampah ini di-istighosah-kan setiap hari. Adalah tanggungjawab dan kewajiban bersama mengatasinya. Terutama kaum beriman Indonesia. Daripada larut dan ribut mengomentari politik negeri ini, lebih afdol kita sibuk beraksi peduli sebagai wujud dharma bakti khalifah bumi. Menjadi wali lingkungan yang cinta kebersihan dengan aktif memelopori istighosah gurah sampah.

UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah Pasal 12 ayat (1) mengamanatkan, “Setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan.” Sekaligus ikhtiar itu akan menjadikan kita hamba yang dicintaiNYA. “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang suka bersih-bersih diri & lingkungannya.” (QS.2: 222).

Institusi keagamaan seperti pesantren dan masjid bisa memulainya segera. Setidaknya bisa meniru upaya kecil pesantren tempat penulis mengabdi, produk Eco-Pesantren berupa Biogas Santri dan penerapan zero waste di lingkungan pembelajaran sebagai aksi riil istighosah gurah sampah. Lembaga pendidikan bisa bergabung dengan jaringan Sekolah Adiwiyata milik Kementerian Lingkungan Hidup RI.

Itulah beberapa aksi riil dengan langkah kecil yang bisa dicoba. Betapa ritual formal yang massal akan lebih berdampak manfaat jika ditindaklanjutkan dengan aksi-aksi nyata menjawab persoalan kemasyarakatan dan fakta lingkungan. Dengan itu kita sekaligus berupaya memastikan musibah longsornya TPA Luewigajah atau tragedi sampah di pantai Bali dapat dihindari sejak dini.

Jadikan peringatan Hari Bumi 22 April kemarin sebagai penguat niat: kurangi sampah pencemaran bumi mulai saat ini. Ajaklah keluarga dan komunitas Anda berjamaah istighosah gurah sampah. Sembari terus konsentrasi dalam berdoa, belajar dan bekerja. Ambil asumsi terkecil, 25 juta manusia di komunitas kita ikut gerakan ini setiap hari, maka berapa sampah yang bisa dikurangi? InsyaAllah jika diseriusi dari keteladanan di pucuk pimpinan pusat, ranting hingga level rumah tangga, persoalan sampah akan terbantu terurai.

Lafalkan istighfar atas kezaliman kita mengotori bumi setiap hari. Wiridkan subhanallah dengan menjaga lingkungan selalu bersih. Ucapkan Alhamdulillah dengan hidup neriman dan mengurangi nafsu konsumstif berlebihan. Jadikan pekik Allaahu Akbar sebagai penyemangat mengelola sampah secara kontinyu dan benar. Selanjutnya kita akan rukun serumpun, bertahlil memuji bersama bumi, menyaksikan ke-Esa-anNYA dalam kidung harmoni semesta. Laa ilaa ha illaallaah.

Thursday, April 21, 2011

Ujian

Sejak Senin kemarin (18/4), siswa kelas 3 SMU/MA di seluruh Indonesia mengikuti UN. Bercampur aduk perasaan mereka antara tegang, harap dan cemas. Tiga tahun pembelajaran kini dipertaruhkan demi sebuah penanda bernama ijazah. Sebelum pelaksanaan ujian, ragam ikhtiar ditempuh, mulai dari cari info bocoran jawaban, pasang nadzar hingga istighosah digelar. Semua demi satu harapan: lulus dan sukses melewati ujian.


Begitupun kelahiran semua manusia di dunia. Selama hidup ini, Allah hendak menguji siapa manusia-manusia terbaik yang berhak mendapat sertifikat kelulusan di akhirat. Dari lahir bayi hingga ditetapkan mati, itulah proses dan waktu ujian bagi semua manusia.


“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (QS. Al Mulk : 2)


Jika lulus saat wafat, akan dapat ijazah ampunan dan ridho Allah yang umumnya disebut Surga. Jika gagal, maka surat keterangan tidak lulus diberikan dan imbalannya hukuman pengasingan bernama Neraka. Tidak ada ujian ulang untuk penebusan kegagalan saat sudah mati. Allah sebagai juri penilai berlaku sangat adil di proses ujian ini.


Bagi kaum yang mengklaim beriman, karena raihan harapan hidup di akhirat berderajat 99 % Surga, maka materi ujiannya pun beragam dan berbeda dari umat yang awam biasa-biasa saja. Tingkat kesulitannya tinggi mengingat hadiah yang didapat. Juga untuk otokritik sekaligus penyadaran, bahwa pengakuan beriman tidak boleh hanya ramai berseliweran di lisan tanpa uji pembuktian.


“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. 29 : 2)


Apakah kamu menduga akan dapat masuk surga padahal belum datang kepadamu cobaan sebagaimana halnya (yang dialami) oleh orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncang aneka cobaan sehingga berkata Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya. "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" ingatlah pertolongan Allah amat dekat” (QS Al-Baqarah [2]: 214).


Dua ayat gugat di atas itu seolah membangunkan kelupaan manusia, khususnya kaum beriman. Bahwa tak cukup pengakuan kebenaran saja tanpa dibuktikan lewat serangkaian ujian kemanusiaan dan tes keimanan. Klaim beriman secara sepihak dan sangat percaya diri akan masuk surga dipertanyakan Allah melalui firmanNYA.


Sekaligus ayat itu memberikan peringatan keras bagi siapapun yang puas jumud dan statis dalam zona kenyamanannya. Merasa nyaman dan terlena dengan status tempelan “beriman” hanya karena rajin ritual formal, tidak mau refleksi, dan sepi dari amal kesalehan sosial. Di hadapan Allah manusia ini belum berbuat apa-apa, tapi sudah narsis mengharap bidadari. Ibaratnya, manusia yang sudah merasa baik thok ini percaya sesanti, “muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga”. Itulah manusia-manusia yang dikritik Allah dalam dua ayat di atas.


Nah, sebagaimana adik-adik pelajar yang sedang menikmati UN-nya, sepatutnyalah setiap manusia merasa saat ini sedang diuji olehNYA. Bahkan ketika serius dan asyik membaca kolom Lentera ini, ingatlah bahwa waktu dan proses membaca itu adalah materi ujian yang harus diselesaikan.


Apa materi ujiannya? Iyalah manusia disebut berakal jika saat berdiri, duduk dan berbaring senantiasa mengingat merasakan keberadaan Allah yang menggenangi jagad (QS. 3:190-191). Saat baca tulisan ini, sudahkah kita tetap merasakan ingatan kepadaNYA? Kalau belum merasa ingat Allah, berarti 'ujian iman' kita masih keliru jawabannya. Kata Allah, kita ini orang yang “belum berakal”.


Jika peserta UN hanya diberikan 50-an soal dan harus tuntas dalam waktu 100-an menit, maka ujian hidup kita ini materi soalnya lebih banyak lagi. Ada 6 ribuan ayat Al Quran berisi perintah maupun larangan yang harus kita jawab dan selesaikan. Waktunya secepat hayat dikandung jasad, sebatas kita masih bernafas di dunia ini. Jika gagal UN tahun ini punya kesempatan lagi di periode berikutnya, maka di ujian kehidupan, sekali gagal tiada lagi kesemapatan memperbaiki prestasi. Jadi hati-hatilah dan jangan ngawur memilih jawaban hidup ini.


Menengok sejarah para Rasul terdahulu, materi ujian yang mereka hadapi mayoritas berupa soal-soal kesusahan dan kesengsaraan. Ada yang dikejar-kejar dilecehkan umatnya, dilempari batu, ditimpuk kotoran unta, diintimidasi penguasa, diboikot kehidupannya, hingga ada yang dibunuh. Ritme cerita mereka penuh elegi, pengorbanan diri dan drama menyayat hati. Namun itu sesuai firman Allah bahwa siapa menghendaki kebaikan akhirat, akan diuji kesulitan di dunia. Siapa yang sabar itulah yang beruntung dan lulus menang.


"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. " (QS 2-155).


Dari kisah dahulu juga, ada umat yang diuji soal-soal kesenangan dan kebahagiaan. Firaun dan Namrudz diberi soal ujian kekuasaan, hasilnya mereka gagal total. Qarun di jaman Nabi Musa dan Tsa'labah di saat Nabi Muhammad diberi soal ujian harta kekayaan, mereka tidak berhasil lulus.

Umat-umat yang digembala Rasul, yang diuji penyembahan berhala, dicoba perlombaan pengetahuan, diberi soal ujian ketokohan, dst, juga gagal. Sehingga akhirnya mereka mati membawa tanda sertifikasi “tidak lolos uji”. Maka sebaiknya hati-hati bila umat sekarang diberi soal ujian dengan materi sebagaimana peringatan ayat berikut ini.


“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS.3:14)


Senang, susah, jelata, kuasa, hidup dan mati adalah bagian dari materi ujian kemanusiaan sekaligus tes keimanan. Saat punya harta, sudahkah kita berani mengorbankannya untuk menolong sesama manusia? Saat miskin, sabarkah dalam kondisi itu dan tetap mensyukuri kesehatan jasmani ruhani? Saat senang, bisakah tetap menyikapi itu sebagai soal ujian dan tak terjatuh ketakaburan? Jangan sampai kita merasa diuji cobaan ketika susah saja, dan merasa senang berlebihan lupa syukur kepada Tuhan saat diuji kesenangan.


Jika kita mengaku manusia, maka sikapilah semua dinamika hidup ini sebagai ujian yang harus diselesaikan. Jika kita mengklaim beriman, maka ambillah soal-soal yang sulit agar hadiah yang kita peroleh sepadan beserta bonus-bonusnya. Fa laqtahamal aqobah (QS. 90:11-17). sebaiknya kita memilih jalan susah yakni: membebaskan perbudakan, memberi makan orang yang kelaparan, dan sabar berpesan kebajikan sesama insan.


Segera selesaikan ujian kemanusiaan dan tes keimanan ini sebelum panggilan bel akhir berbunyi. Sikapi dengan serius dan tirakati dengan prihatin hati-hati hidup yang sementara ini sebelum ajal wafat mendekat, sebelum ada panggilan kematian tiba, sebagaimana yang diterima Rosihan Anwar dan Franky Sahilatua, baru saja.

Tuesday, April 19, 2011

Senin, 18/04/2011 14:15 WIB
Kolom Telematika Detikinet


Hayya 'Alal Linux


Milad kelahiran Linux mulai ramai diperingati bulan April ini. Berbagai syukuran digelar, antara lain peluncuran CGL (carrier grade Linux) 5.0, pemasangan gambar “I'll celebrating 20 years of Linux with the Linux Foundation!” di blog para pemeluk Linux, dan akan dipungkasi gelaran selebrasi LinuxCon di Vancouver, Agustus nanti.

Dalam usianya yang menapak kurun 20 tahun, wajah Linux kini nampak menggelegak jiwa muda penuh merdeka. Torvalds sebagai sang bidan, tentu bergembira melihat Tux, “anak baptisnya”, kini sudah menjadi sosialita sekaligus ikon dunia: Penguin pahlawan pembebasan melawan tirani proprietary dan monopoli sistem operasi.

Sebagaimana dunia yang dibundel dalam dua sisi berbeda, maka Linux seolah ditakdirkan menjadi alternatif serasi dari piranti lunak berkode proprietary. Seperti sunnah keseimbangan Yin Yang: ada ketertutupan jendela, sudah pasti harus ada pintu yang terbuka.

Saat vendor besar menjual mahal software berlisensi resmi, GNU/Linux menawarkan kemudahan berbagi pakai lisensi. Proprietary for capital branding, Linux for human being. Sampai di sini, Linux nampak lebih manusiawi karena tidak semata menjejalkan konsep untung rugi dalam berdagang jual beli materi.

Transformasi bibit Linux kemudian memekarkan semangat FOSS (freeware open source software) ke seluruh penjuru dunia, termasuk disambut meriah di Indonesia.

Ini dimungkinkan karena filosofi yang diusung FOSS Linux lekat secorak dengan nilai adiluhung keIndonesiaan: gotong royong, kesukarelawanan, kemerdekaan, kesetiakawanan, keadilan, dan keswadayaan.

Atas alasan ini pula, penulis hijrah jadi muallaf Linux sejak pertengahan 2008, selain tanggungjawab moral mengendalikan hama pembajakan.

Perayaan 20 tahun Linux seyogyanya dapat menggugah Indonesia, khususnya masyarakat pemerhati dan pengguna TI. Satu sisi pesatnya perkembangan teknologi di negeri ini patut disyukuri, misalnya dengan melihat pertumbuhan penjualan perangkat keras. IDC merilis, tahun fiskal 2010, pengiriman komputer PC ke Indonesia mencapai 62 %. Data Apkomindo menyebut penjualan notebook dan netbook tahun 2010 diperkirakan porsinya meningkat menjadi 70% dan akhirnya menjadi 80% pada 2011 dan 2012.

Di sisi lain, fenomena penggunaan perangkat lunak bajakan terus memprihatinkan. Silakan googling prosentasi pembajakan software di Indonesia. Ya, angkanya masih berkutat di kisaran 86 %, sebagaimana rilisan data IDC dan BSA. Tentu ini catatan wanprestasi yang wajib diakhiri. Alasan harga mahal saat membeli lisensi legal dan memilih praktis menggunakan lisensi bajakan adalah ciri patologi pariah..

Bila mau jujur, dua alasan umum pengguna bajakan itu sudah terjawab dengan hadirnya FOSS Linux. Kemudahan fitur, tampilan GUI, dan kehandalan isi kini nyaris menyamai software komersil berbayar.

Paket sistem operasi dan aplikasi yang disertakan dalam satu bundel instalasi, kian memudahkan penggunaan, selain hemat di kantong tentunya. Para pengembang FOSS Linux Indonesia pun terus bergerak menyempurnakan berbagai celah kelemahan (bug) yang dikeluhkan. Setidaknya tiada lagi alasan membajak piranti lunak, terutama untuk keperluan rutin perkantoran.

Bicara pengakuan kehandalan, Linux sudah merambah luas ke ekosistem teknologi perkomputeran. Komputasi awan, server, sindikasi media, termasuk internet, kini kian riuh berLinux ria. Mesin pencari Google, siapa tidak kenal dia? Juga fenomena Android yang kini melejit?

Mereka ternyata memilih platform Linux sebagai jerohan penggeraknya. Dari sini, keengganan untuk mencicipi Linux dengan alasan “gak setenar bajakan” atau “gak ada teman” sangat tidak relevan.

Pemerintah pun sudah berusaha lewat kampanye IGOS, meski kini gaungnya sepi setelah ganti menteri. Setidaknya masyarakat punya pijakan kuat untuk memulai usaha serius ke arah legalisasi piranti lunak ini. Fatwa MUI juga sudah berbunyi, “haram menggunakan piranti lunak bajakan”. Jika itu dianggap belum cukup berkekuatan inkracht, cukuplah jejaring komunitas jadi penggairah.

Seperti pesan Pak Kusmayanto Kadiman, bahwa poros pemasyarakatan FOSS Linux bisa diaktifkan lewat rangkaian kerjasama ABG+C (akademisi, bisnis, goverment+community).

Nah, kekuatan jejaring community bisa jadi pelopor kalau misalnya ketiga unsur ABG memble. Community diwakili pengembang lokal yang sangat kuat komitmen kerelawanannya dan semangat keIndonesiaannya. Jadi kurang endorser apa lagi?

Lebih jauh, ada relevansi nilai yang mirip bila menyandingkan filosofi Linux dan semangat kemerdekaan Indonesia. Indonesia memerdekakan diri dari penjajahan VOC Belanda, sementara Linux coba menawarkan pembebasan lisensi dari jeratan vendor proprietary.

Kang Onno pernah memperingatkan, selama ini jutaan dollar lari ke luar negeri karena pembelian sistem operasi berlisensi proprietary. Selebihnya, pembelian software bajakan, selain merugikan negara, juga entah menguap kemana peruntukan uangnya.

Maka saatnya ucapkan selamat milad ke-20 Linux.. Lewat peringatan 20 tahun kelahiran Linux inilah, saatnya berpindah ke pilihan piranti lunak yang murah, mudah, dan sah. “Hayya 'Alal Linux”. Marilah berhijrah ke Linux. Merdekakan diri dari jerat prorietary.

Uang 20 ribuan yang yang biasanya digunakan untuk beli piranti lunak bajakan itu sebaiknya disumbangkan untuk pengembangan FOSS Linux lokal. Tentu ini akan jadi fenomena keswadayaan yang membersyukurkan.

Terkait latihan praktik kejujuran, mulailah dari lingkungan terdekat. Misalnya di pekerjaan komputasi, selalu gunakan komputer yang bersistem operasi legal. Bila lisensi software proprietary terasa mahal, gunakanlah FOSS Linux yang harganya ramah sosial dan terbukti handal.

Anda bisa pilih FOSS Linux edisi corporate enterprise atau gratisan yang bebas tersedia di berbagai mirror unduhan. Pilihan ini akan lebih aman dan menenteramkan daripada kucing-kucingan dengan aparat keamanan karena jual beli lisensi bajakan.

Memilih FOSS Linux juga mencerminkan kesadaran berdikari dan proses berswadaya TI, selain mendukung-hargai karya pengembang lokal yang potensial. Jangan lupakan juga tanggungjawab sosial memberangus kriminalitas pencurian kekayaan intelektual.

Sebagaimana publik mencerca pembajak Somalia yang menyandera warga Indonesia, maka saatnya kini menghentikan pembajakan di negeri sendiri: Gunakan FOSS Linux dan sudahi penggunaan lisensi illegal proprietary.

Bersama penulis, mari bersalaman dengan Tux dan ikuti ayun langkahnya yang gemulai meliuk-liuk. Selamat milad atas ijtihad Torvalds. Selamat bersemangat Linuxer semuanya. Sambil syukuran, terus kumandangkan ajakan “Hayya 'alal Linux” kepada pengguna komputer di Indonesia.

sumber: http://www.detikinet.com/read/2011/04/18/141537/1619755/398/hayya--alal-linux

Thursday, April 14, 2011

Pseudo Ilmiah, Patologi Pariah




Super Size Me adalah film dokumenter tahun 2004 yang ditulis, diproduksi, disutradai dan dibintangi oleh Morgan Spurlock, sineas independen asal Amerika Serikat. Kisah semi kronikal ini mendokumentasikan “aksi uji nyali” Spurlock yang mengonsumsi makanan cepat saji selama 30 hari (Februari hingga Maret 2003).

Selama pembuatan film, Spurlock makan di satu merk restoran cepat saji terkenal, tiga kali sehari. Akibatnya bobot Spurlock menggelembung drastis. Ia juga mengeluhkan gejala disfungsi seksual dan didiagnosa mengalami kerusakan hati. Spurlock membutuhkan waktu satu tahun dua bulan untuk terapi penyakit yang ia dapati dari ujicoba ini.

Lewat Super Size Me, Spurlock mengeksplorasi pengaruh fast food terhadap kesehatan badan, termasuk bagaimana resto gaul itu menggunakan bahan bernutrisi rendah untuk keuntungan berlimpah. Inilah film indie yang coba menginvestigasi perilaku zalim produsen industri makanan cepat saji sekaligus advokasi hak-hak konsumen yang kerap dikebiri.


Di Indonesia, penelitian serupa dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) awal Februari 2010. Hasilnya, 30 % jajanan yang beredar di masyarakat ternyata mengandung zat yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia a.l pengawet formalin, boraks, rhodamin B dan pewarna sintetis methanil yellow. Celakanya jajanan itu banyak menyasar pelajar sekolah dengan harga relatif murah. Seperti luput disadari, kelangsungan tunas muda ini terancam oleh makanan yang mereka konsumsi setiap hari.



Tak berlebihan bila ada anggapan bahwa industri makanan skala internasional maupun lokal yang menyertakan zat berbahaya dalam produksinya –sebagaimana temuan Spurlock dan BPOM-- dikategorikan sebagai upaya pembunuhan kemanusiaan. Faktanya rumus dagang “untung besar dengan modal kecil” seolah mengabaikan begitu saja harkat kehidupan. Apalagi bila bisnis itu disukseskan dengan laku tipu-tipu, konsumen dirugikan dan tak pernah diberitahu.

Fenomena itulah yang penulis sebut sebagai pseudo-ilmiah. Kelahiran pengetahuan, pesatnya teknologi penemuan dan tumbuh kembang keilmuan yang semestinya bermanfaat bagi keselamatan dan kesejahteraan umat, justeru disalahgunakan sistemik untuk meracuni masyarakat.

Contohnya pemakaian berlebihan pemanis aspartam dalam minuman, penyedap MSG dalam makanan, formalin pengenyal ikan, daging ayam broiler yang disuntik antibiotik, penggunaan styrofoam, kemasan tas kresek beracun, dst. Demi mengejar laba besar harus mengorbankan hak hidup orang lain. Seolah memanfaatkan manusia sebagai binatang percobaan lewat produk-produk makanan yang dipasarkan.

Di sisi lain, perilaku konsumen memamah semua jenis makanan juga sangat memprihatinkan. Bagi yang berkantong tebal, menikmati makanan mahal berdwifungsi sekaligus jaim status sosial. Tak sekadar menutup rasa lapar. Bagi kaum jelata, semua jajanan murah meriah diborong untuk memenuhi perut yang tak kunjung kenyang. Desakan kerakusan mengalahkan prioritas kebutuhan. Analisa nafsu want (keinginan berlebihan) lebih didengarkan daripada need (keperluan pas-pasan).

Begitulah ciri patologi pariah. Sebuah penyakit peradaban manusia dengan gejala cara pandang hidup yang menuhankan kenikmatan dunia profan. Contoh satu diantara sekian prinsip yang wajib diimani mereka ini adalah ritual culinary party. Berpindah-pindah kongkow dan lesehan sepanjang lapak makanan untuk mencicipi aneka masakan dari berbagai menu olahan.

Dalam laku yang sedikit beda, makan di rumah tak terpuaskan dengan satu macam hidangan. Sudah ada nasi, kuah, sayur, dan lauk, masih ingin nambah kerupuk. Sudah ada sambel lalapan, kemaruk kepingin ngemplok gorengan, dst. Mottonya “hidup untuk makan”, bukan “makan untuk hidup”. Sebenarnya ritual makan cukuplah untuk kebutuhan survival tapi disalah-kaprahi jadi rutinitas pemborosan makanan yang awur-awuran. Sudah tahu makan sembarangan itu tidak baik tapi tetap diteruskan.

Sudah paham bahwa Al Quran menganjurkan memilih yang berunsur halalan & thayyiban, tapi seketemunya makanan dihabiskan. Asal berlabel halal, meski belum tentu thayyib (baik bagi kesehatan), diembat semua tanpa sisa.

Asal keren, gaul, beraroma iklan, senyampang mulut menuntut, selagi punya duit, tak peduli sehat atau tidak, halal-haram, pokoknya junk-food, semua masuk perut. Sungguh ironi ketika di negara asalnya, makanan sampah itu mulai dijauhi, tapi di sini malah antri diserbu pembeli.

Seperti kian menegaskan, penelitian yang dilakukan sebuah konsultan brand marketing tahun 2010, menemukan fakta bahwa makanan favorit para pengguna internet Indonesia adalah produk mie instan dan minuman berkarbonasi. Padahal dua jenis produk olahan itu banyak diakui mengandung komposisi yang tidak aman bagi kesehatan. Terutama pengawet, pewarna, dan zat berbahaya lainnya. Tapi konsumen malah memilihnya sebagai makanan favorit utama.

Lalu siapa yang keliru? Jawabannya adalah keduanya patut disalahkan. Kebutuhan produsen yang mau jualannya laku --meski dengan memanfaatkan zat berbahaya-- digayung-sambuti keinginan konsumen yang tertipu nafsu menurutkan hawa rakusnya. Tumbu ketemu tutup. Kloplah sudah.

Pseudo ilmiah berselingkuh dengan patologi pariah. Hukum supply and demand yang kemudian berjalan. Produsen terus eksis menzalimi, karena konsumen merem melek menikmati. Lahirlah anak kembar haram bernama konsumerisme dan hedonisme.

Maka ajakan penulis adalah mari mengarifi diri. “Disaat konsumerisme akut mewabahi bangsa ini, jadikan perilaku hidup kesederhanaan sebagai pedoman. Kita harus berkata 'CUKUP SUDAH' kepada hedonisme dan ugal-ugalan kemaruk panganan,” pesan seorang rekan kandidat doktor bioinformatika dari Jerman.

Kalau perlu tirakat poso nowo: sahur dan berbuka hanya dengan minum air putih dan makan umbi-umbian rebusan saja. Latihan hidup sederhana sekaligus detoksifikasi zat-zat jahat yang sudah lama ngendon mengotori jiwa raga ini.

Selanjutnya untuk aksi segera, fungsi BPOM didorong lebih aktif bersama gerak aparat terkait lainnya melakukan pengawasan terhadap maraknya makanan yang beredar. Akademisi dengan tridharma perguruan tinggi melalui biro penelitiannya turut mendukung penghapusan praktik pseudo ilmiah dalam produk makanan/minuman beserta derivat aneka jenisnya ini.

Lembaga pendidikan giat mencerdaskan warganya tentang kesadaran “jangan asal jajan”. Institusi masyarakat sipil juga urun advokasi di isu kesehatan pangan ini. Kebetulan belum banyak orsos/ornop yang bekerja membela hak publik di sektor kebutuhan primer ini. Swadaya di level terkecil, fungsi keluarga mestinya sangat efektif mencegah patologi pariah, misalnya dengan pembiasaan makan cukup dari masakan rumah.

Tidak perlu meniru Spurlock untuk sekadar membuktifkan efek buruk kebiasaan jajan di luar kebutuhan. Jangan tunggu sakit dulu baru berhenti rakus. Sekalian saja mengikuti penulis yang ndeso: berhenti mengonsumsi makanan cepat saji, tidak sembarangan jajan dan cukup mensyukuri sajian menu rumahan. Jangan lupa baca Bismillaah sebelum makan. Dengan ikhtiar ini, diharapkan konsumen akan tercerdaskan dan tidak lagi jadi korban yang paling rentan dirugikan.



Semoga ulat bulu yang lagi marak demonstrasi itu, sedang membentang spanduk-spanduk panjang bertuliskan peringatan, “Hei Manusia, Hentikan Sifat Rakusmu. Kamu habiskan semua sumber makanan sampai kami kelaparan. Atas nama hobi kamu embat burung-burung yang jadi penyeimbang rantai makanan kami. Sekarang nikmati aksi pembalasan kami ini”

Internet Sehat vs Internet Syahwat

Detikinet, Senin (11/4/2011)




Jakarta - Internet sehat adalah kampanye kreatif rekan-rekan ICT Watch dalam pemasyarakatan internet yang tertib, aman, legal dan bermanfaat. Inisiatif ini muncul mengantisipasi pesatnya laju inflasi kelahiran penduduk maya sekaligus menjawab maraknya penyalahgunaan internet di Indonesia. Dalam kegiatannya, internet sehat selalu melibatkan jejaring komunitas dan pengiat lembaga nirlaba, termasuk penulis yang bekerja di organisasi non-pemerintah.

ICT Watch merupakan pemegang hak penggunaan nama/merek berdasarkan keputusan Dirjen HAKI, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. Kata 'INTERNET SEHAT' telah terdaftar sebagai merek pada Dirjen HAKI pada tanggal 21 Oktober 2010, dengan nomor pendaftaran IDM00276610.


Di jalur yang beda tipis vis a vis, kini marak fenomena pengalihfungsian internet menjadi alat kampanye penjahat dan habitat netizen 'aliran sesat'. Penulis menyebut fenomena ini dengan istilah internet syahwat sebagai antitesa parodik internet sehat.

Secara fungsi, internet sehat mengendalikan penggunaan agar netter tidak tersesat, sementara internet syahwat membiarkan hasrat berkobar liar. Posisi internet syahwat mendekat ke moral hazard sedangkan internet sehat merapat ke moral safeguard.

Keduanya giat mendakwahkan kegunaan piranti komunikasi berbasis jaringan silaturahmi komputer global ini. Pun demikian, keduanya berasumsi azas manfaat, walau tanggung jawab sosial dan kesadaran beragama yang kemudian membatasi perbedaannya. Internet sehat efektif sebagai media pencerdasan dan penyejahteraan umat. Sebaliknya internet syahwat produktif mendatangkan mudharat bagi tatanan masyarakat.



Pemaknaan internet sehat akan melahirkan kreatifitas, kecerdasan, power of simplicity, keterbukaan saling berbagi dan peradaban yang lebih manusiawi. Ada Kang Onno W. Purbo dengan ide VoIP Merdeka yang murah dan produk Wajanbolic yang meriah. Para blogger yang memelopori eksistensi pewarta warga.

ICT Watch bersama ID-SIRTII jadi 'tukang kebun' dunia maya agar semua penghuni tetap bersih dan terlindungi. Dari luar negeri duo Lary Page dan Sergey Brin, Mark Zuckerberg, serta Jerry Yang adalah contoh generasi terkini yang cerdas memaknai hakekat internet sehat.

Derivat internet sehat dapat mewujud dalam produk yang bermanfaat, mendidik dan ramah masyarakat. Contohnya BSE untuk pendidikan, SAHANA untuk kebencanaan, NAWALA untuk pencegahan keasusilaan, F/OSS mengurangi monopoli sistem operasi, dukungan Facebooker untuk penegakan keadilan, saling sapa via kicauan Tweeps, upacara online, pengajian virtual, dst.

Di batas lain, Internet Syahwat berangkat dari ketertutupan, germo (gelem seger kerjo emoh), ambisi saling menguasai, kecanduan nafsu setan, terjebak dunia profan, budaya enak instan, dan semangat pelecehan harkat kemanusiaan. Hubungan gelap itu kemudian melahirkan turunan produk gagal bernama pornografi, phising, carding, bullying, abuse of mouse, human trafficking, money laundring, maling banking, dan kejahatan dunia maya lainnya.

Pembaca tentu tahu aksi penipu cerdik dan pencuri cantik yang tertangkap polisi baru-baru ini. Pada perkara asusila sebelumnya, beberapa sosialita kerap dituduh mengejar tenar dengan cara umbar video dan foto penuh ego libido. Teranyar, muncul kasus anggota dewan yang tertangkap candid camera sedang indehoi joged chaiya-chaiya sembari menikmati pranala email 'LinkInPorn'-nya. Apakah mereka tergolong penikmat internet syahwat? Hanya Allah yang tahu kebenarannya.

Jika disanding dalam deret moral benchmarking, maka pelaku internet sehat dengan kesadaran ikhlas sedang berlatih mengamalkan fatwa kitab suci berikut ini, "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya" (QS. 17:36). Peringatan ayat ini nampak secorak dengan tagline 'wise while online, think before posting'.

Sementara penikmat internet syahwat sedang bersenang-senang dan bergegas melakoni satire pedas Iwan Fals, "khutbah soal moral, omong keadilan sarapan bagiku. Aksi tipu-tipu, lobbying dan upeti, ooohh jagooonyaaa." (Swami, Bento: 1989).

Memilih satu di antara keduanya merupakan hak pembaca. Sila pikirkan keuntungan dan kerugian sebagai konsekuensi pilihan yang mesti ditanggung. Internet sehat menawarkan alternatif tamasya arung maya yang aman, nyaman dan ada jaminan perlindungan. Sementara internet syahwat mengajak bertualang keliling dunia virtual yang illegal dan amoral -- meski mungkin lebih markotop dan menantang buat sebagian orang.

Bagi pelaku internet sehat, sebaiknya menambah energi ekstra supaya revolusi baik ini tak layu berhenti. Rangkul dan perkuat fungsi keluarga sebagai pelaku utama selain advokasi peraturan yang sudah ada. Buat penikmat internet syahwat, doakan semoga saja mereka lekas bertobat. Tentu lebih bijak mengarifi diri daripada menuduh ada konspirasi atau mengaku jadi korban yang dizalimi.

Pilih internet sehat, Insya Allah hidup lebih bermanfaat bagi keluarga dan masyarakat. Pilih internet syahwat, risikonya berhadapan dengan hukum aparat dan malaikat. Mudah-mudahan pilihan Anda sama dengan saya, ambil pilihan pertama: internet sehat yang bertanggungjawab dunia akhirat. Bismillaah...


sumber:
http://www.detikinet.com/read/2011/04/11/100651/1613108/398/internet-sehat-vs-internet-syahwat

Thursday, April 07, 2011

Kitaro & Rapsodi Orkestra Indonesia



Sejak dulu sering saya ditawari rekan menonton konser musik, tapi sesering itu pula ajakan saya tampik. Bukan karena saya tidak tertarik, tapi ini soal pilihan selera saja. Meski buat saya semua madzhab musik itu apik, tapi untuk pertunjukan live yang layak simak itu cuma orkestra dengan musikal multi-instrumental.

Sebuah pementasan yang bukan sekadar olah vokal atau lirik-lirik fenomenal, tapi keterampilan seorang komposer memadukan ragam 'konflik' dari berbagai etnik alat musik. Di situlah antusiasme saya dalam melihat pertunjukan orkestra begitu menggebu.


Dari jenis pertunjukan itu, Indonesia memiliki Addie MS dengan Twilite-nya, juga Ananda Sukarlan dan Dwiki Dharmawan. Musikus orkestra mancanegara, saya paling suka menikmati Kitaro dan Yanni yang sama-sama punya basis kepiawaian pianis. Saya senang pernah berkesempatan mendengar karya mereka walaupun hanya dari pita kaset atau keping cakram saja.

Hari ini, Kitaro dijadwalkan manggung di Jakarta. Mau datang kejauhan, selain menimbang harga ongkos masuk yang tidak murah. Akhirnya saya cukup puas buka-buka YouTube untuk menikmati rekaman pemetasan yang pernah ia kelilingkan. Tanpa beli tiket mahal, saya dapat mengikuti “World Tour” Kitaro yang mondial. Hanya dari layar laptop tigabelas inci, saya bisa menikmati tingkah Kitaro yang sering terpejam gedek-gedek itu.

Pembaca, mungkin diantara Anda semua memiliki selera musik yang sama dengan saya. Sebagaimana saya yang belum beruntung bisa menikmati aksi Kitaro secara langsung via pandang mata, tetaplah kita wajib bersyukur terutama atas anugerahNYA hari ini.

Syukurnya lagi, kita hidup di Indonesia: sebuah bangsa besar yang kaya raya akan karakter manusia maupun sumber daya alamnya. Satu-satunya negara di dunia yang terdiri dari ribuan suku, bahasa, dan pulau hunian.

Kitaro dan atau pementasan orkestra lainnya memiliki kemiripan dengan struktur budaya Indonesia yang beraneka rupa. Alat musik itu diandaikan manusia dan budayanya. Sementara komposer itu adalah kepemimpinan kita semua, sesuai jenjang tupoksi-nya. Pementasannya adalah sepanjang usia Nuswantara Indonesia ini ada.

Dari pementasan orkestra kita bisa belajar memaknai dan mengamalkan falsafah Bhinneka Tunggal Ika. Musik etnik dipadu synthesizer, bedug, suara manusia, biola, drum dan garputala, menghasilkan irama yang rancak penuh gelegak enak.

Demikian juga Indonesia, jika saja kita mau menghayatinya. Ragam perbedaan dengan dinamika prosesnya, sebenarnya adalah anugerah indah. Sebagaimana alat musik yang berpotensi konflik, dengan olah perpaduan yang pas, keberbedaan itu justeru jadi satu pementasan padu, menghasilkan nada-nada syahdu dan aksi penghiburan yang seru.

“Sesederhana itu?,” tanya seorang rekan saya. Tentu saja iya sederhana pelaksanaannya kalau kita tidak mau bikin repot. Setidaknya bisa dimulai di level keluarga, jika terlalu apatis melihat macam-macamnya karakter manusia Indonesia.

Dari keluarga kita bisa belajar mengelola kepemimpinan, mengerem ego senioritas, menghormati sesama manusia, memadukan perbedaan, berbagi ide positif, saling menguatkan dalam semangat perubahan, dst.

Pada level Indonesia, anggaplah kita semua ini serumpun keluarga. Pancasila sebagai sokoguru tatanan kekeluargaan sekaligus konduktor kepemimpinan berbangsa dan bernegara. Jadikan masa depan akhirat sebagai mindset utama, sehingga urusan dunia saling ikhlas berbagi bakti sesuai potensi yang dimiliki tanpa rebutan, tanpa saling bermusuhan.

Kalau ada emosi yang meninggi akibat dinamika diskusi, berwudhulah untuk usir setan pembawa amarah. Tarik nafas dalam. “Huh, syah, huh, syah,” lepaskan emosi seperti yang diajakkan Kitaro dalam komposisi Matsuri. InsyaAllah pertentangan akan reda, kita akan rukun bersaudara kembali.

Tema Kitaro dalam pementasan dunia kali ini adalah “Pray for Japan”. Banyak cerita pemulihan pasca tsunami di Jepang kemarin yang menginspirasi saya. Satu diantaranya adalah betapa cepat dan tanggapnya penanganan tsunami di sana.

Para pemimpin yang meminta maaf, berpidato di depan televisi dengan seragam tim penyelamat, pidatonya bermuatan motivasi penyemangat. Masyarakat juga enggan mengeluh dan sibuk membenahi keadaan. Masyarakat optimis walau dihimpit duka dan kesulitan. Dalam hal ini, kita patut meniru Kitaro dan “Saudara Tua” itu.



Indonesia dengan segenap potensi sumber daya, perbedaan karakter manusia dan jutaan permasalahannya adalah sebuah pementasan rapsodi orkestra. Kita semua turut sibuk dalam pementasan itu. Maka hentikan saling menyalahkan.

Belajarlah mengalah demi sebuah komposisi indah. Kesempatan kita menata orkestra Indonesia ini hanya sangat sebentar, sebagaimana tiupan terompet Kitarao dalam Heaven & Earth. Sebelum takdir jaman akhir ditiup sebagai tanda usainya pertunjukan manusia.

Selamat buat Anda yang hari ini telah memegang tiket pertunjukannya. Semoga saja Kitaro bisa menghibur, pertunjukan berlangsung aman lancar dan bebas ancaman amuk liar.

Semoga saya dan Anda semua para pemimpin orkestra keluarga Indonesia bisa meniru Kitaro yang tampil ciamik menata musik “konflik” dari berbagai etnik. Bagi penonton jangan lupa berdoa untuk dunia agar segera rukun sentosa. Semoga Indonesia aman dari segala bencana dan marabahaya.

Dengan latihan melihat Indonesia dan keluarga kerabat sebagai orkestra setiap saat, tak perlu kita datang ke Jakarta malam ini untuk menikmati gemulai “Dance of Sarasvati”. Di sini saja sudah tersedia: murah, mudah dan sah. Sebuah anugerah pertunjukan orkestra nusantara bernama INDONESIA.

Bersama violin angin, perkusi ombak, senandung gunung, gesekan biola suara fauna, nyanyian hutan, denting dawai dedaunan, mari kita tampilkan pentas gerak perubahan keIndonesiaan.

Syukur puji kepada Ilahi dan bedug Matsuri mengawali gairah ibadah sehari-hari. Pancasila-kan kembali jiwa raga anak-anak pertiwi. Inilah peta jalan sutera meraih kejayaan Nuswantara lama. "Kerja semangat. Satu tekad, satu komando, satu tujuan, AYO," seolah teriak Kitaro.