Thursday, April 14, 2011

Pseudo Ilmiah, Patologi Pariah




Super Size Me adalah film dokumenter tahun 2004 yang ditulis, diproduksi, disutradai dan dibintangi oleh Morgan Spurlock, sineas independen asal Amerika Serikat. Kisah semi kronikal ini mendokumentasikan “aksi uji nyali” Spurlock yang mengonsumsi makanan cepat saji selama 30 hari (Februari hingga Maret 2003).

Selama pembuatan film, Spurlock makan di satu merk restoran cepat saji terkenal, tiga kali sehari. Akibatnya bobot Spurlock menggelembung drastis. Ia juga mengeluhkan gejala disfungsi seksual dan didiagnosa mengalami kerusakan hati. Spurlock membutuhkan waktu satu tahun dua bulan untuk terapi penyakit yang ia dapati dari ujicoba ini.

Lewat Super Size Me, Spurlock mengeksplorasi pengaruh fast food terhadap kesehatan badan, termasuk bagaimana resto gaul itu menggunakan bahan bernutrisi rendah untuk keuntungan berlimpah. Inilah film indie yang coba menginvestigasi perilaku zalim produsen industri makanan cepat saji sekaligus advokasi hak-hak konsumen yang kerap dikebiri.


Di Indonesia, penelitian serupa dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) awal Februari 2010. Hasilnya, 30 % jajanan yang beredar di masyarakat ternyata mengandung zat yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia a.l pengawet formalin, boraks, rhodamin B dan pewarna sintetis methanil yellow. Celakanya jajanan itu banyak menyasar pelajar sekolah dengan harga relatif murah. Seperti luput disadari, kelangsungan tunas muda ini terancam oleh makanan yang mereka konsumsi setiap hari.



Tak berlebihan bila ada anggapan bahwa industri makanan skala internasional maupun lokal yang menyertakan zat berbahaya dalam produksinya –sebagaimana temuan Spurlock dan BPOM-- dikategorikan sebagai upaya pembunuhan kemanusiaan. Faktanya rumus dagang “untung besar dengan modal kecil” seolah mengabaikan begitu saja harkat kehidupan. Apalagi bila bisnis itu disukseskan dengan laku tipu-tipu, konsumen dirugikan dan tak pernah diberitahu.

Fenomena itulah yang penulis sebut sebagai pseudo-ilmiah. Kelahiran pengetahuan, pesatnya teknologi penemuan dan tumbuh kembang keilmuan yang semestinya bermanfaat bagi keselamatan dan kesejahteraan umat, justeru disalahgunakan sistemik untuk meracuni masyarakat.

Contohnya pemakaian berlebihan pemanis aspartam dalam minuman, penyedap MSG dalam makanan, formalin pengenyal ikan, daging ayam broiler yang disuntik antibiotik, penggunaan styrofoam, kemasan tas kresek beracun, dst. Demi mengejar laba besar harus mengorbankan hak hidup orang lain. Seolah memanfaatkan manusia sebagai binatang percobaan lewat produk-produk makanan yang dipasarkan.

Di sisi lain, perilaku konsumen memamah semua jenis makanan juga sangat memprihatinkan. Bagi yang berkantong tebal, menikmati makanan mahal berdwifungsi sekaligus jaim status sosial. Tak sekadar menutup rasa lapar. Bagi kaum jelata, semua jajanan murah meriah diborong untuk memenuhi perut yang tak kunjung kenyang. Desakan kerakusan mengalahkan prioritas kebutuhan. Analisa nafsu want (keinginan berlebihan) lebih didengarkan daripada need (keperluan pas-pasan).

Begitulah ciri patologi pariah. Sebuah penyakit peradaban manusia dengan gejala cara pandang hidup yang menuhankan kenikmatan dunia profan. Contoh satu diantara sekian prinsip yang wajib diimani mereka ini adalah ritual culinary party. Berpindah-pindah kongkow dan lesehan sepanjang lapak makanan untuk mencicipi aneka masakan dari berbagai menu olahan.

Dalam laku yang sedikit beda, makan di rumah tak terpuaskan dengan satu macam hidangan. Sudah ada nasi, kuah, sayur, dan lauk, masih ingin nambah kerupuk. Sudah ada sambel lalapan, kemaruk kepingin ngemplok gorengan, dst. Mottonya “hidup untuk makan”, bukan “makan untuk hidup”. Sebenarnya ritual makan cukuplah untuk kebutuhan survival tapi disalah-kaprahi jadi rutinitas pemborosan makanan yang awur-awuran. Sudah tahu makan sembarangan itu tidak baik tapi tetap diteruskan.

Sudah paham bahwa Al Quran menganjurkan memilih yang berunsur halalan & thayyiban, tapi seketemunya makanan dihabiskan. Asal berlabel halal, meski belum tentu thayyib (baik bagi kesehatan), diembat semua tanpa sisa.

Asal keren, gaul, beraroma iklan, senyampang mulut menuntut, selagi punya duit, tak peduli sehat atau tidak, halal-haram, pokoknya junk-food, semua masuk perut. Sungguh ironi ketika di negara asalnya, makanan sampah itu mulai dijauhi, tapi di sini malah antri diserbu pembeli.

Seperti kian menegaskan, penelitian yang dilakukan sebuah konsultan brand marketing tahun 2010, menemukan fakta bahwa makanan favorit para pengguna internet Indonesia adalah produk mie instan dan minuman berkarbonasi. Padahal dua jenis produk olahan itu banyak diakui mengandung komposisi yang tidak aman bagi kesehatan. Terutama pengawet, pewarna, dan zat berbahaya lainnya. Tapi konsumen malah memilihnya sebagai makanan favorit utama.

Lalu siapa yang keliru? Jawabannya adalah keduanya patut disalahkan. Kebutuhan produsen yang mau jualannya laku --meski dengan memanfaatkan zat berbahaya-- digayung-sambuti keinginan konsumen yang tertipu nafsu menurutkan hawa rakusnya. Tumbu ketemu tutup. Kloplah sudah.

Pseudo ilmiah berselingkuh dengan patologi pariah. Hukum supply and demand yang kemudian berjalan. Produsen terus eksis menzalimi, karena konsumen merem melek menikmati. Lahirlah anak kembar haram bernama konsumerisme dan hedonisme.

Maka ajakan penulis adalah mari mengarifi diri. “Disaat konsumerisme akut mewabahi bangsa ini, jadikan perilaku hidup kesederhanaan sebagai pedoman. Kita harus berkata 'CUKUP SUDAH' kepada hedonisme dan ugal-ugalan kemaruk panganan,” pesan seorang rekan kandidat doktor bioinformatika dari Jerman.

Kalau perlu tirakat poso nowo: sahur dan berbuka hanya dengan minum air putih dan makan umbi-umbian rebusan saja. Latihan hidup sederhana sekaligus detoksifikasi zat-zat jahat yang sudah lama ngendon mengotori jiwa raga ini.

Selanjutnya untuk aksi segera, fungsi BPOM didorong lebih aktif bersama gerak aparat terkait lainnya melakukan pengawasan terhadap maraknya makanan yang beredar. Akademisi dengan tridharma perguruan tinggi melalui biro penelitiannya turut mendukung penghapusan praktik pseudo ilmiah dalam produk makanan/minuman beserta derivat aneka jenisnya ini.

Lembaga pendidikan giat mencerdaskan warganya tentang kesadaran “jangan asal jajan”. Institusi masyarakat sipil juga urun advokasi di isu kesehatan pangan ini. Kebetulan belum banyak orsos/ornop yang bekerja membela hak publik di sektor kebutuhan primer ini. Swadaya di level terkecil, fungsi keluarga mestinya sangat efektif mencegah patologi pariah, misalnya dengan pembiasaan makan cukup dari masakan rumah.

Tidak perlu meniru Spurlock untuk sekadar membuktifkan efek buruk kebiasaan jajan di luar kebutuhan. Jangan tunggu sakit dulu baru berhenti rakus. Sekalian saja mengikuti penulis yang ndeso: berhenti mengonsumsi makanan cepat saji, tidak sembarangan jajan dan cukup mensyukuri sajian menu rumahan. Jangan lupa baca Bismillaah sebelum makan. Dengan ikhtiar ini, diharapkan konsumen akan tercerdaskan dan tidak lagi jadi korban yang paling rentan dirugikan.



Semoga ulat bulu yang lagi marak demonstrasi itu, sedang membentang spanduk-spanduk panjang bertuliskan peringatan, “Hei Manusia, Hentikan Sifat Rakusmu. Kamu habiskan semua sumber makanan sampai kami kelaparan. Atas nama hobi kamu embat burung-burung yang jadi penyeimbang rantai makanan kami. Sekarang nikmati aksi pembalasan kami ini”

No comments: