Thursday, February 03, 2011

Diskusi Bawah Tanah

Yang berkuasa ingin awet menduduki kursinya. Yang belum kebagian kekuasaan grusa-grusu ingin segera merasakan. Si kaya kian bernafsu menambah harta bendanya. Si miskin makin terpacu agar bisa cepat kaya. Penjahat tersenyum bangga memamerkan keahlian dan koleksi jarahannya. Aparat turut bersiasat menikmati hasil kerja sang penjahat.

Tokoh agama mulai kehilangan tugas penggembalaan. Umat jadi bingung karena kehilangan figur teladan. Pemerintah dijadikan ajang pelampiasan kekesalan. Masyarakat menyukai tabiat saling umpat. Media menggelar palagan sekaligus sirkus tontonan politik adu jangkrik. Dan kita sering terjebak latah memihak hanya berdasar asumsi 'suka atau tidak'.


Maka ada baiknya kita semua jeda sementara. Beristirahat dari kesibukan ambisi yang tiada henti. Sebentar lesehan menyandarkan badan. Mengendurkan emosi dan ruhani yang dibiasakan ketegangan. Mendiamkan sejenak pikiran yang ngelunjak karena ketagihan dikipasi mimpi. Membebaskan diri dari belenggu nafsu yang memaksa kita selalu terburu dan kerap kehilangan perikemanusiaan.

Saya ajak Anda semua bicara tentang dahsyatnya peristiwa yang akan segera tiba. Fakta kejadian yang pasti dialami oleh semua manusia. Drama elegi yang harus dijalani setiap diri: Mati. Itulah realita yang mudah-mudahan menyadarkan kita tentang tujuan dan makna kehidupan. Ya, kita semua akan dipanggil pulang ke awal muasal, yakni tanah. Manusia dibuat dari tanah liat dan ke dalam tanah itu juga manusia akan dikembalikan.

Ayolah semenit saja kita diskusi tentang situasi bawah tanah. Merenungi kabar dari kubur sebagai pengendali aktifitas kita. Apapun agama kita, sebagus apapun rupa kita, selancar apapun karir kita, sebanyak apapun harta kita, sekuat apapun kekuasaan kita, sebaik apapun perilaku kita, serendah apapun derajat lahir kita, tak peduli pejabat atau rakyat, status penjahat atau sosialita terhormat, tak peduli lansia atau balita, pria atau wanita, semuanya pasti berakhir tiada. Cepat atau lambat, jasad kita akan dikubur di bawah tanah.

Tubuh bagus yang sering kita elus. Rambut yang kita sisir rapi setiap hari. Kaki yang kita sepatui. Wajah yang biasa kita hiasi. Tangan yang selalu kita bersihkan. Badan yang kita taburi wewangian. Pucuk helai rambut kepala hingga ujung kuku jari kaki yang rajin kita sabuni. Sesosok sempurna yang kita bajui. Sebentar lagi semuanya akan terkulai sepi di peti mati. Pada akhirnya, kisah indah itu akan ditutup rapat dalam lembaran kain kafan. Selanjutnya kita hanya bisa diam menunggu kepastian.

Setelah prosesi penguburan, kisah kita berlanjut dalam tanah yang basah. Mulut membisu dan tubuh terbujur kaku. Sendirian tak ada teman. Terkurung gelap di ruang 1x2 meter yang pengap. Jasad kita terikat liang lahat. Hilang sudah fasilitas bebas yang kita nikmati di dunia. Tak bisa lagi kita berontak atau sekedar berteriak. Kerabat dan pengikut tak dapat mendengar kabar. Tiada tempat suaka yang bisa kita mintai bantuan. Tinggallah seonggok daging ini dalam penjara bawah tanah berdimensi alam barzah.

Lalu kita mulai rasakan kondisi ngeri. Cacing-cacing berkelindan dengan tak sopan menyesaki rongga mulut kita. Semut berkerubut ganas menggigiti rongga telinga, hidung, pusar dan anus kita. Ratusan kelabang menari-nari dari ujung jari kaki hingga kepala kita. Ribuan belatung mengulat dari usus yang meletus.

Di kubur tak seekor binatangpun yang sudi menghormati. Mereka berpesta dengan bebasnya menjambak, menginjak, mengiris, mengeroyok, melahap dan menjarah setiap inci kulit ini. Tak berguna lagi kekayaan, jabatan, fasilitas, kehormatan, dan kepemilikan yang di dunia kita banggakan.

Selanjutnya warna kulit kita berubah hitam legam. Perlahan tubuh kita merekah. Sesaat otot kita meledak dan pecah. Menyengat bau busuk dari badan yang diurai tanah. Bola mata kita muncrat dan meleleh dari cangkangnya. Hidung kita tanggal dari tempatnya. Persendian kita terputus dari tempurungnya. Daging kita terlepas dari tulang. Setelah tubuh dikunyah-kunyah tanah, hanya tersisa tengkorak kita yang mengerikan bentuknya.

Begitulah situasi kita di bawah tanah nantinya. Bagi orang bernalar waras, peristiwa kubur akan menjadi renungan yang mencerdaskan. Bahwa sesungguhnya peristiwa kematian seorang manusia adalah lebih besar dari persitiwa apapun di dunia ini, lebih dahsyat, lebih heboh, lebih menyedot perhatian, lebih butuh diprioritaskan, lebih layak dikhawatirkan, harus lebih sering dipikirkan, dan lebih penting untuk dipersiapkan.

Diskusi bawah tanah ini merupakan renungan asasi tentang diri dan kemanusian. Betapa ramainya manusia saat ini berlomba mengejar keinginannya, toh akan berhenti di kubur juga. Keniscayaan yang tak terbantahkan. Boleh saja Anda tak percaya adanya surga dan neraka.

Silakan bila kita memilih jadi atheis dan menafikan keberadaan Tuhan. Tapi mati dan peristiwa kubur ini, Anda harus menerimanya sebagai fakta. Semenit lagi, usah membaca tulisan ini, sore nanti, besok pagi, lusa esok hari, minggu depan, beberapa tahun lagi, kita pasti merasakan mati dan masuk kubur.

Bagi yang hari-hari ini berambisi rebutan politik kekuasaan dan berlomba nikmat di dunia saja, kendalikan liar nafsu Anda dengan renungan ini. Sehingga nantinya mata batin kita tidak dibutakan oleh syahwat sesaat dan hasrat sesat yang fana adanya. Kesadaran tentang mati dan kubur akan mengantarkan kita pada penginsafan kesalahan diri sendiri, bersemangat taubat dan tidak mudah mengomentari dosa orang lain.

Bagi pengejar kebaikan, jadikan diskusi tentang mati dan kondisi badan kita di bawah tanah sebagai pengganda semangat. Karena hanya amal kebaikan yang nanti bisa memberi terang dan suaka saat gelap tanah kubur mengasari wajah kita.

No comments: