Wednesday, February 09, 2011

Kepada Para Atasan & Bawahan

Diceritakan Al Quran bahwa pada hari pengadilan akhirat nanti, banyak tersaji rekaman drama memilukan dan penyesalan umat manusia yang gagal amal. Satu diantara rekaman adegan itu adalah pertengkaran antara kaum rendahan dengan pimpinan yang terbukti kemudian menyesatkan. Pengikut atau bawahan yang merasa disesatkan kemudian mengutuki pemimpin atau atasan mereka.


“Dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) akan berkumpul menghadap ke hadirat Allah, lalu berkatalah orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang sombong: "Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan daripada kami azab Allah (walaupun) sedikit saja? Mereka menjawab: "Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami dapat memberi petunjuk kepadamu. Sama saja bagi kita, apakah kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri". (Ibrahim : 21)


"Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar." (QS. AL AHZAB:67-68).



Masih ada beberapa ayat serupa yang menceritakan tukar padu pimpinan-bawahan itu. Sayangnya peristiwa itu terjadi di akhirat yang sudah sangat terlambat dimana tiada kesempatan perbaikan dan tiada lagi pembelaan.


Pimpinan tak dapat memberi suaka dan syafaat. Bawahan hanya bisa menyesal dan mengumpat. Pada akhirnya, pimpinan-bawahan tersebut bernasib sama: divonis siksa dan dibuang ke neraka. Mereka terpaksa menerima hukuman karena salah menentukan pilihan.


Agar peristiwa itu tak terjadi nanti, maka saya ingin menyampaikan dua tuntutan melalui tulisan ini. Kepada sampeyan para atasan atau pimpinan dan kepada sampeyan para pengikut atau bawahan.


Kepada para pimpinan, sudahilah perlombaan “klaim kebenaran” yang hanya bertujuan memperbesar jumlah jamaah. Hentikan ambisi duniawi “atas nama tuhan” sampeyan yang ternyata mentok berebut banyak-banyakan pengikut. Jangan jadikan umat sampeyan itu seperti kerumunan ayam aduan yang siap dilagakan. Jangan posisikan kaum awam itu saling berbenturan karena membela fanatisme paham parsial sampeyan. Jangan manfaatkan taklid dan keawaman mereka untuk mengenyangkan syahwat sesaat dan hasrat sesat sampeyan.


Sungguh sampeyan harus bertanggungjawab penuh terhadap nasib mereka di dunia dan akhiratnya. Pada contoh sederhana, tahukah sampeyan berapa orang diantara ratusan pengikut sampeyan yang tidak bisa makan hari ini? Pernahkah menyuapi makan mereka sebagai bukti kasih peduli dan wujud tanggungjawab sosial di dunia? Sudahkah sampeyan menengok jamaah sampeyan yang sakit hari ini, jika sampeyan ingin meneladani akhlak kepemimpinan Nabi? Beranikah sampeyan menanggung-lunasi hutang mereka ini bila wafat nanti?


Jika di kehidupan dunia saja sampeyan tidak bisa menanggungjawab kebutuhan mereka, maka sebaiknya tak perlu nekat memimpin umat. Jika belum bisa peduli nasib mereka hingga memperhatikan detil persoalan mereka yang kecil, tak usah ngaku benar dulu. Karena bagaimana sampeyan akan menolong mereka di akhirat, sedang mempedulikan nasib mereka di dunia saja tidak bisa??


Lebih baik saya sarankan sampeyan memimpin keluarga. Berhasil memimpin keluarga sholat jamaah fardhu 5 waktu secara rutin saja, itu sudah luar biasa. Apalagi jika bisa menyelamat-sejahterakan keluarga akhirat dunia-nya, tentu lebih hebat lagi. Sekali lagi saya minta, jangan narsis menggalang pengikut bila mengelola keluarga saja masih sering salah kaprah.


Kepada para pengikut atau bawahan, mulai sekarang teliti kembali pimpinan yang sampeyan imani. Jangan bergegas kagum hanya karena mereka sering ceramah di tivi. Jangan mudah percaya hanya karena figur pimpinan yang dicitrakan baik dan alim oleh media. Jangan tertipu sosok yang seolah berwibawa ketika beraksi di atas mimbarnya.


Mengenali ciri pemimpin berakhlak Nabi tidaklah sekadar samai etnis kesukuannya atau urut nasab keturunannya. Cerdaslah memilih dengan tidak asal mengikuti orang terkenal. Mengikuti pemimpin jangan hanya karena mereka berderajat ningrat, bergelar pengamat, berpendidikan hebat, berpengikut jutaan umat, atau penghafal ribuat ayat.


Sampeyan harus buktikan sendiri keteladanan mereka dengan aturan agama, bangsa dan negara. Nyatakan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Rumah dan kendaraan mewah ataukah sesederhana milik Nabi? Kepedulian mereka terhadap umat apakah seperti Nabi? Apakah dakwah mereka minta upah umatnya atau justeru menyedekahi pengikutnya? Apakah mereka lebih sering menangis prihatin mengingat nasib umatnya ataukah lebih banyak tertawa menikmati kemewahan bersama keluarga?


Apakah pemimpin itu rajin muhasabah menginsafi dosanya sendiri ataukah lebih banyak marah-marah mengomentari dosa kelompok lainnya? Bagaimana pengelolaan keluarga mereka? Akhlaknya cinta dunia ataukah bisa seimbang dan lebih mendahulukan akhiratnya? Beranikah pemipin sampeyan itu mengorbankan kepemilikan yang paling dicintainya? Sekali lagi, bila ciri pemimpin itu belum bisa mendekati teladan Nabi, sebaiknya tak usah diikuti.


Cocokkan iman dan pengakuan dengan Al Quran. Ingatlah, bahwa setan dan jin sekalipun bisa membentuk keyakinan di hati yang seolah-olah itu benar adanya. Untuk antisipasi keliru itu, jadikan kisah-kisah teladan kerasulan dan orang shalih sebagai satu-satunya standar ukuran kebenaran.


Kepemimpinan dan keikutsertaan dalam sebuah jamaah keyakinan akan sangat menentukan nasib sampeyan. Di dunia, sampeyan tak akan mudah dibentur-benturkan para spekulan penjual politik kepentingan sebagaimana tragedi amuk massa yang marak belakangan ini. Di akhirat, sampeyan tidak akan mengalami sesal seperti diceritakan Al Quran di awal tulisan.

No comments: