Friday, January 14, 2011

Kalau Semua Ingin Kaya

Gampang kabujuk nafsu angkoro (mudah terbujuk nafsu angkara)
ing pepaese gebyare dunyo (terpesona perhiasan gebyar dunia)
iri lan meri sugihe tonggo (iri dan kepingin kekayaan tetangga)
mulo atine peteng lan nisto (maka hatinya gelap dan nista)

Empat larik penggalan lirik di atas terambil dari kidung Syi'ir Tanpo Waton Gus Dur yang bisa kita unduh di situs YouTube. Bahasanya sederhana dengan susunan rima a-a-a-a. Walau sederhana, namun petikan lagu itu seperti memotret secara presisi fakta terkini kondisi agama, bangsa dan negara yang kita hadapi.

Nafsu angkara mengamuk siapa saja. Bagaikan bom tandan yang menarget sasaran tanpa secuilpun menyisakan kehidupan. Hulu ledaknya menyebarkan radiasi pesona harta dunia dan racun berupa kilauan kekuasaan.

Yang awam kian dibutakan, yang paham ikut ketularan. Mengikuti cucuk lampah lakon pagelaran di babak akhir jaman. Semua berebutan, bingung, sibuk, panik, adu kuat saling bertubrukan karena takut tidak kebagian. Keadaan umat saat ini, “koyo gabah diinteri,” kata sanepan Jayabaya.

Begitulah kalau semua ingin kaya di dunia. Karena standar kaya tidak mengenal batas sampai berapa jumlah yang dimauinya. Kapan berhenti untuk jadi kaya, tidak pasti ukurannya. Sehingga perburuan materi dan ambisi berlangsung tanpa ujung.

Jika punya uang seratus ribu, pasti ingin memiliki sejuta. Sudah jadi orang terkaya seIndonesia, nafsunya ingin nambah lima benua. Begitu seterusnya. Muncul sifat tamak dan loba. Sifat jahat ini bermutasi jadi embrio penyakit korupsi yang akut berkelindan menyelimuti negeri ini.

"Dari Ibnu Abbas dan Anas bin Malik ra. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Seandainya seseorang itu mempunyai satu lembah dari emas niscaya ia ingin mempunyai dua lembah, dan tidak ada yang dapat memenuhi mulutnya kecuali tanah (ia tidak akan merasa puas terhadap dunia ini sebelum mati) Dan Allah akan senantiasa menerima taubat orang yang bertaubat“. (HR. Bukhari dan Muslim).

Kalau semua ingin kaya di dunia, biasanya muncul sifat pelit dan eman. Karena proses usaha menuju kaya kudu mematuhi prinsip asasi ekonomi, “mengeluarkan sesedikit mungkin, mendapatkan sebanyak mungkin”. Dalam tahap ini, penumpukan modal adalah keniscayaan. Aset harus dijaga awet.

Sifat pelit cenderung dipelihara untuk menyeimbangkan neraca. Sedekah sesempatnya dan sepantasnya saja. Pada level yang sedikit lumayan, cukuplah zakat profesi 2.5 % per tahun sebagai bukti keimanan. Muncul perasaan eman jika semuanya hendak dikorbankan.

Sudah dari kodrati sifat manusia itu pelit (QS. 4:128), diperparah bisikan setan yang menakut-nakuti miskin (QS. 2:168) jika hendak bersedekah. Nafsu syaithaniyah lebih dominan menguasai nurani basyariyah. Kian pelitlah manusia. Makin engganlah bersedekah.

Kalau dulu ketika punya 300 rupiah, mampu sedekah 200 rupiah dengan ikhlas dan mudah. Tapi saat bertambah 300 ribu, mulai muncul perasaan eman memberikan 200 ribu. Apalagi nanti bila punya 300 juta? mau sedekah 200 juta, pasti makin eman lagi !

Kalau semua ingin kaya di dunia, jadinya saling sikut berebut. Karena untuk mencapai derajat kaya, hukum kompetisi berlaku pasti. Iklim persaingan harus ketat, hegemoni dan monopoli dipegangi kuat. Disiplin dagang menyepakati “Untung besarlah aku, rugi bangkrutlah kamu”.

Bahkan itu berlaku diantara sesama penganut agama. Keniscayaan makhluk ekonomi memaksa pemberlakuan hukum rimba. Siapa kuat, dia dapat. Naluri hewani mengalahkan fitrah manusiawi. “Homo homini lupus,” kata Plautus.

Kalau semua ingin kaya di dunia itu meniru teladan siapa? Rasulullah, ulul azmi, empat sahabat dikisahkan hidup dalam kesederhanaan. Bila diukur jaman sekarang, hidup beliau-beliau itu cenderung di bawah garis kemiskinan. Tidak ada satupun Rasul dan Nabi yang berkeadaan kaya.

Bahkan Nabi Yusuf, Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman tidak memiliki properti pribadi. Fasilitas beliau-beliau yang ditafsirkan sebagai “kekayaan” oleh sejarawan, itu merupakan aset negara/kerajaan. Sedangkan hidup sehari-hari beliau sangatlah sederhana dan bersahaja.

Tiada satupun ayat maupun hadis yang menganjurkan agar kita kaya. Karena ambisi kaya dan berkuasa itu secara naluriah sudah ada pada manusia. Itu adalah animal instinct yang dibundel sepaket saat kita diciptakan olehNYA.

Karena itulah agama dihadirkan untuk memberikan rambu-rambu dan rem pengendalian. Silakan pelajari lagi ayat-ayat suci. Justeru banyak sekali firman AlQuran yang mewanti-wanti bahwa harta itu sumber fitnah dan musuh manusia.

Setelah menguburkan para sahabat yang wafat pada perang Uhud, Rasulullah berkata: "Saya tidak takut kamu akan kembali menyembah Tuhan yang lain selain ALLAH; tetapi saya takut kamu akan saling membunuh karena kamu memperebutkan dunia ini (harta atau kekuasaan)!" (Shahih Bukhari, Kitab 23 no 428). Sebuah peringatan bahaya dari Rasulullah Guru Waskita yang justeru disikapi terbalik oleh umatnya, kita semua.

Kalau semua ingin kaya di dunia dengan dalih “nanti setelah kaya rutinitas ibadah akan bertambah tenang”, itu cuma ilusi. Lihatlah kisah Tsa'labah di masa Rasulullah dan Qarun di era Nabi Musa. Mereka berdua awalnya sahabat dekat Rasulullah, imannya kuat dan ibadahnya taat. Tapi ketika dianugerahi kekayaan, mereka justeru menjauh dan berbalik menjadi musuh. Naudzubillaah

Klaim bahwa dengan menjadi kaya, pamor Islam akan naik juga mengingkari fakta dan sejarah. Fakta betapa kaya negara dan penguasa di Timur Tengah sana tapi ironisnya bargaining position Islam di percaturan dunia justeru nyungsep hingga titik nadir.

Sejarah kejayaan Islam yang membuat kagum para raja lain adalah karena hari-hari kehidupan Rasulullah dan sahabat yang sahaja. Sementara keruntuhan dan perpecahan Islam justeru datang ketika kekayaan, gemerlap istana, dan kemasyhuran meliputi penguasa Islam.

Ingat juga, nafsu berebut kekayaanlah yang menyebabkan kekalahan pasukan Rasulullah di medan Uhud. Setelah sebelumnya diawali kemenangan meyakinkan, penjaga bukit melakukan insubordinasi perintah komandan. Kemenangan yang didapat pun luput dari tangan, pasukan lari kalang kabut meninggalkan banyak korban. Gara-garanya, matanya silau ijo lalu hatinya serakah terpikat ghanimah.

Kalau semua ingin kaya di dunia, maka biasanya godaan kekuasaan dan materi ikut meramaikan. Kekayaan berselingkuh dengan ambisi kekuasaan, kloplah sudah. Lahirlah anak haram bernama “rejim tatanan dholim”. Kebohongan dibiasakan. Hukum dijungkirbalikkan. Doa dan ayat suci dijadikan komoditi. Pertikaian dan adu koboi dijadikan hobi. Maksiat dan tingkah laku sesat justeru digemari masyarakat. Kebenaran dibias-tafsirkan sesuai kepentingan pemesan.

Kalau semua ingin kaya di dunia, lalu siapa yang ingin dan rela menjalani peran miskin? Padahal sunnatullah hidup di dunia ini harus ada keseimbangan dengan kehadiran unsur keduanya. Takdir kaya miskin sudah ditetapkan olehNYA. Sehingga ketika kita semua ngotot berebut pingin kaya di dunia, bukankah itu sama dengan melawan kepastian-Nya?.

Tidakkah kita mau belajar dari kisah Nabi Sulaiman? tentang sifat sahaja sekawanan hewan yang tidak silau tergoda kekayaan (lihat surat An Naml). Ya, semut yang kecil itu menggurui kita yang besar ini tentang perilaku sabar neriman senajan pas-pasan.

Kalau semua ingin kaya di dunia, silakan saja. Tetapi Nabi mewanti-wanti akan ada syarat & ketentuan yang berlaku di akhirat bagi orang yang memilih kaya di dunia. Misalnya tentang proses hisab. Rasulullah mengabarkan bahwa orang kaya yang seandainya ditakdirkan menghuni surga, prosesnya akan sangat lama.

Orang-orang miskin akan masuk surga terlebih dahulu daripada orang-orang kaya karena mereka tidak memiliki sesuatu untuk dihisab. Selisih waktu antara keduanya adalah 40 tahun. (HR. Muslim). Karena orang kaya harus diaudit dulu penggunaan dan pertanggunjawaban hartanya di dunia.

Kalau semua ingin kaya, itu adalah hak dan pilihan kita. Allah memberikan pembolehan penuh terhadap hal ini. Tentukan hak dan pilihan itu. Mengambil hak kaya raya di akhirat selamanya sesuai fitrah manusia dengan cara hidup sederhana di dunia ini?, ataukah memilih ingin kaya di dunia yang sementara dengan resiko bernasib seperti Qarun yang mati kelojotan ditelan bumi?

No comments: