Ada dua kisah beliau yang mengilhami tulisan ini. Pertama, saat banjir terjadi, banyak penduduk mengungsi ke desa yang memiliki dataran lebih tinggi. Lokasi pesantren Bapa Guru kebetulan berada di desa yang relatif aman sehingga menjadi destinasi para pengungsi. Karena keterbatasan sarana, Bapa Guru menampung seratusan pengungsi dari tiga desa di musholla pesantren.
Selama lima bulan lebih, Bapa Guru dibantu isteri beliau menyediakan kebutuhan sehari-hari pengungsi ini. Dengan semangat swadaya dan kerelawanan, Alhamdulillah survival bisa bertahan. Apa saja menu sajian yang dimakan para pengungsi, menu yang sama pula yang dinikmati Bapa Guru bersama anak isteri. Sering dalam sehari hanya menikmati sekepal nasi atau rembusan umbi-umbian.
Bapa Guru konsisten mengajarkan kepada isteri dan keluarga tentang "hasil kerja untuk kebersamaan". Bagi Bapa Guru, adalah perilaku keliru, termasuk dosa dan tabiat jahat bila hasil kerja halal kita hanya dihabiskan bersama sekeluarga atau hanya dinikmati sendiri.
Cerita kedua, saat itu debit air sungai terus naik dan mulai mengancam lahan persawahan. Dam desa yang mengatur pengairan dari sungai ke sawah nyaris jebol. Selain karena volume dam kecil, pintu dam yang terbuat dari kayu biasa tak cukup kuat menahan tekanan air banjir.
Jika sampai dam itu jebol, penduduk terancam gagal panen dan itu berarti harus siap paceklik lama. Karena sawah itu satu-satunya sumber makanan penduduk desa. Wilayah yang terisolasi dan keterbatasan teknologi informasi saat itu tak memungkinkan untuk meminta bantuan. Sehingga para pamong seolah mati langkah dan penduduk juga sudah menyerah pasrah.
Melihat situasi itu, Bapa Guru berinisiatif bersama para santri. Berpacu dengan waktu dan situasi gawat darurat yang menuntut penanganan cepat, Bapa Guru memutuskan mencongkel sebagian dinding musholla pesantren yang terbuat dari papan kayu jati. Dinding congkelan dari kayu jati itu kemudian digunakan untuk memperkuat penutup pintu dam.
Meski beberapa tokoh agama mencemooh inisiatif itu, --alasannya dinding rumah ibadah tak sepantasnya dicongkel hanya untuk menambal dam-- Bapa Guru bergeming dengan keputusannya. Alhamdulillah, berhasil. Penutup dam yang diperkuat kayu jati congkelan dinding musholla tadi, mampu untuk menahan debit air.
Banjir pun tidak sampai merusak sawah berkat pertolongan Allah melalui inisiatif berani nan cerdas Bapa Guru bersama santri. Setelah peristiwa ini, kegiatan penanganan kebencanaan selanjutnya dilembagakan melalui kiprah Santri Tanggap Bencana (SANTANA) Yayasan Ponpes SPMAA.
Hari-hari ini berita bencana dan cerita kepiluan manusia datang bergelombang. Bencana alam berupa angin puting beliung, banjir bandang, kecelakaan transportasi masal, tsunami, gunung meletus, kebakaran hutan, menyapa kita silih berganti. Terbaru kita dengar kabar dari Wasior, wilayahnya habis diterjang banjir longsor.
Seolah tak mau kalah, bencana sosial juga turun beruntun seperti drama berseri tentang kisah-kisah pariah. Carut marut rebutan kekuasaan, meningkatnya angka kemiskinan, adu domba berbau SARA, perdagangan manusia, TKI disiksa, penyimpangan misi pendidikan, pembunuhan, berita kriminal massal, perilaku guru/siswa yang amoral, intrik politik, pelecehan hukum keadilan, pemujaan syahwat, obral pamer aurat, kekerasan yang dilembagakan, kedaulatan negara yang direndahkan, serta ancaman kematian nurani masyarakat negeri ini. Bahaya latent bencana sosial dan bencana alam yang butuh penanganan darurat, tepat dan cepat sebelum semuanya terlambat.
Bencana selain mengundang keprihatinan, juga menghadirkan secercah hikmah. Blessing in disguise. Inilah saat dimana Allah mengajari para santri untuk melu handarbeni mengurus nasib pertiwi. Bencana sosial dan alam itu seolah pekerjaan rumah dari madrasah muamalah yang harus cepat-cepat diselesaikan.
Para survivor bencana perlu dibantu kebutuhan hidupnya. Psikisnya butuh dihibur. Perilaku yang menyimpang perlu ditegur. Anak-anak yang kudu dijaga proses tumbuh kembangnya. Juga survivor wanita dan lansia yang rentan nasibnya. Koruptor dan kriminal yang butuh disembuhkan mentalnya. Pelaku kerusuhan yang butuh dimanusiakan lagi. Pertanyaan yang patut dijawab para santri, “Apa saja yang sudah kita lakukan menyikapi fakta ini, selain ramai diskusi di meja wacana dan berlama-lama mengaji kitab suci?”
Belajar dari kisah Bapa Guru kita bisa memotivasi santri dalam menyikapi fakta bencana alam dan sosial yang marak di dunia, khususnya Indonesia.
Pertama, komunitas santri bisa berperan aktif, realis dan strategis tanpa meninggalkan jejak intelektualitasnya. Memilih profesi yang bukan sekadar penasehat dengan modal hafalan ribuan ayat. Tapi peran yang lebih membumi, manusiawi, bersahabat dan bermanfaat langsung buat masyarakat.
Sebuah kerja humanitarian yang berangkat dari niat konsistensi pengamalan ayat kitab suci. Sebuah pekerjaan yang tak perlu gelar pintar, prosesi walimah akhirussanah, atau menunggu dipanggil “wak ustadz” dulu. Sebuah pilihan karir yang mengejawantahkan kajian qaulan wa fi'lan. Satu ayat kitab suci dipelajari, langsung diejawantah ke dalam sejuta aksi peduli. Inilah profesi sekaligus karir “Santri Filantropi”.
Kedua, seorang santri bisa menjadi agen perubahan sekaligus trendsetter dalam gerakan amal sosial. Saat itu belum ada lembaga pesantren yang mengurusi kebencanaan. Namun Bapa Guru sudah memulainya dengan aksi sederhana berbasis masyarakat desa.
Kisah patriotik Bapa Guru ini sekaligus membalikkan anggapan keliru bahwa santri hanya ahli ngaji, kemulan keterbelakangan dan sarungan kemalasan. Santri bisa jadi seorang decision maker yang tanggap dan cepat bertindak.
Ketiga, Kita juga bisa belajar tentang kemandirian dan keswadayaan dalam menggiatkan kerja kemanusiaan. Dengan semangat filantropi, kita tidak eman mengorbankan harta yang kita cintai untuk kepentingan humanitarian. Seorang santri filantropi berkeyakinan, harta yang kita dermakan di dunia ini adalah investasi akhirat yang akan kita nikmati. Semakin banyak semakin bagus.
Bila ini yang terjadi, pembangunan rumah ibadah atau kegiatan sosial, nantinya tak perlu lagi menjual iba, mengais proposal ke lembaga dana, atau memajang kotak amal di sepanjang jalan raya.
Keempat, semangat filantropi sangat mendesak dibutuhkan dan relevan untuk memulai usaha penyelamatan bangsa ini. Dan itu harus dimulai oleh para santri. Karena negara ini dihuni oleh sembilan puluh persen kaum santri –dengan asumsi setiap Muslim sejatinya adalah santri--. Sementara komunitas santri dengan kultur budaya asrama pemondokannya, identik dengan semangat kerelawanan, ngluthuk, rendah hati, perilaku kesahajaan dan kental nuansa egalitarian.
Karakter ini apalagi bila ditambah dengan pengamalan nilai-nilai kebenaran universal, akan sangat bermanfaat untuk mengobati gejala bencana sosial seperti: rakus harta, rasis, egois, haus puji, chauvinis, dst.
Kelima, dengan berkarir jadi santri filantropi yang gemar berbagi peduli kepada sesama tanpa membedakan SARA, kita akan terhindar dari cap pendusta agama. Sebagaimana firmanNYA di surat Al Maun ayat 1-7. Bahwa kita tercatat sebagai pendusta agama bila kita rakus memenuhi kebutuhan pribadi lalu tidak peduli nasib si fakir miskin; bahwa sholat dan ibadah ritual formal kita akan dikutuk celaka bila kita enggan menolong dengan sumberdaya yang kita punya.
Keenam, dengan kebaikan budi pekerti santri filantropi, dilandasi prinsip keikhlasan berkorban, siap diremehkan, menghindari pesan-pesan pencitraan, serta meyakini bahwa semua manusia adalah saudara, maka sukses karir dunia akhirat kita akan sempurna. Stigma dan propaganda yang menjelekkan eksistensi kaum santri akan luntur dengan sendirinya.
Kita akan menjadi sakti, memenangkan pertempuran dan meraih kemulyaan tanpa ada pihak yang merasa dikalahkan. Mengutip kalimat filsafat dari kearifan budaya Jawa: “Sugih tanpa bondo. Ngluruk tanpo bolo. Menang tanpo ngasorake. Sakti tanpo aji. Suro diro joyo ningrat lebur dening pangastuti”.
No comments:
Post a Comment