Para peduli, komunitas filantropi, dan relawan bersemangat mengajukan diri untuk diberangkatkan sebagai bala keselamatan. Tak ketinggalan peran insan pemberitaan dalam menyuplai informasi kegawatdaruratan. Semuanya bersinergi sesuai potensi yang dimiliki. Walau di sana-sini masih sering menyisakan kekurangan, fenomena ini patut disyukuri.
Di sisi lain, kita menyaksikan kelambanan pemerintah dalam menjalankan peran dan kapasitas tanggungjawab pelayanan. Terbelit birokrasi yang rumit, kendala DIPA dan proses pencairan kelewat ngirit, atau mungkin karena hierarki atasan-bawahan yang rigid, membuat kiprahnya kalah gesit. Apalagi jika kita mengingat satire parodi selama ini yang ramah dengan kinerja pemerintah, “kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah?”
Walau mereka mengaku sudah bekerja setiap hari sesuai tupoksi, tetap saja kesan lamban dan hasil kerja yang jauh dari harapan sulit dihilangkan. Pada kasus kebencanaan Merapi dan Mentawai, kita sempat dengar PMI diplesetkan singkatannya menjadi Pemerintah Mandiri Indonesia sebagai sindiran atas buruknya koordinasi peran dan lambannya respon para pemimpin negara.
Berita terbaru, penanganan Sumiati dan Komalasari yang teraniaya sampai mati di Arab Saudi membuat kita prihatin mengurut dada. Nasib TKI kita seperti anak ayam ditinggal lari induknya. Wakil rakyat yang kita amanahi juga jauh panggang dari api. Alih-alih investigasi, visanya malah tertahan di kedutaan sehingga mereka telantar berhari-hari belum berhasil masuk Saudi. Kita semua jadi mbatin sedih campur geli, “Duh, Gusti. Gerangan guyon apa lagi ini? Sarapan lelucon kok tersaji sama setiap hari.”
Maka lewat tulisan ini saya ingin memotivasi pribadi penulis sendiri dan tentunya pembaca semua. Setidaknya sekadar oksigen penghiburan di tengah menipisnya udara pengharapan. Bahwasanya potensi kekuatan kita masih ada dan peluang keselamatan negeri ini tetaplah terbuka. Belajar dari praktik kebersamaan urun peduli saat bencana hari-hari ini, sungguh kita layak optimis sembari terus bersinergi strategis mutualis. Inilah sebenarnya wujud nyata nilai adiluhung dan warisan agung khas berselera manusia Indonesia. Berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
Sebagai tindak lanjut dari kebersamaan ini, mari segera kita tempuh langkah-langkah penguatannya.
Pertama, perkuat basis visi dan keteladanan aksi. Mulai dari pendidikan sejak dini di tingkat keluarga dan kerabat terdekat. Berikan contoh bagaimana kita berbuat menyikapi kesulitan tanpa saling menyalahkan. Visi kita adalah perwujudan nyata nilai Pancasila seutuhnya.
Di sinilah distribusi peran, koordinasi pekerjaan, keterampilan komunikasi, saling pengertian, berbagi penguatan, dan fungsi kontrol dapat dilatih-praktikkan. Bila di tingkat terkecil keluarga sudah bisa, tularkan keterampilan itu di level atasnya. Misalnya di lingkungan rukun tetangga atau tingkat desa.
Kedua, pertahankan konsistensi dan ketahanan gerakan. Jangan sampai kehabisan energi, semangat di posisi start lalu pingsan di tengah jalan. Tantangan keberlanjutan inilah yang sering membuat kita kalah. Makanya dukungan doa spiritual, kekuatan mental, dan tentu saja kekayaan modal sosial menjadi sangat penting peranannya.
Ketiga, bersiaplah menjadi orang asing di negeri sendiri. Karena niat baik yang telah dan sedang kita galakkan belum tentu ditanggapi seperti yang kita ingini. Bisa jadi dari lingkungan terdekat muncul penolakan dan penggembosan. Atau mungkin ada pihak berwenang yang merasa lahannya kita rebut, lalu berusaha menghalangi karena takut. Jaman edan wolak-walike jaman. Kita yang waras berotak sehat malah bisa-bisa diteriaki gila dan perlu diruwat.
Maka antisipasi itu dengan Bismillaah. Jika sampai terjadi, gunakan strategi creative minority. Berani setia melawan arus keumuman yang keliru. Konsisten dalam kebenaran walau hanya satu tim kecil bersama keluarga. Defensif aktif sambil terus berusaha mengajak individu/komunitas lainnya. Kita bisa menerapkan pola kebiasaan positive deviance. Hidup menyimpang positif di tengah kerumunan lingkungan yang berbudaya negatif. Maka kuat dan bertahanlah.
Keempat, jangan menunggu pemerintah. Pentingkan keswadayaan, kemandirian, dan inisiatif cerdas menyiasati keterbatasan. Biarlah pemerintah cukup menjadi fasilitator pemantau saja. Kasihanilah mereka karena beban kerja berlebihan sehingga sering nasib kita luput terperhatikan. Sudah cukup jangan penuhi lagi ruang kerja dan konsentrasi pikiran mereka dengan uneg-uneg kita yang ngewuhi ini. Bukan berarti kita mutung. Tapi ini lebih kepada upaya survival sosial menghindari keputusasaan massal.
Maka jadilah kita ini seperti siswa di kelas pembelajaran orang dewasa yang terlatih tampil ke depan tanpa diiming-iming jajanan. Begitupun di saat kita menghadapi situasi sulit. Jika mengandalkan pemerintah susah, maka ayo bergerak mencari celah. Jangan merajuk ke pemerintah apalagi berniat menyerah. Jauhi aksi liar, strategi grusa-grusu ala bar-bar apalagi demonstrasi bakar-bakar. Silakan kita beroposisi, asal gerakan yang kita tampakkan harus elegan dan tanpa kekerasan. Sesanti perjuangan ini, “Menyadarkan bukan Mengalahkan”
Kita keliru besar kalau cuma bisa saling menuding kening, adu kuat debat, bersedekap tangan dan berebut melempar cibiran. Apalagi kalau cuma lomba unjuk gigi di televisi untuk persiapan duduk di kursi 2014 nanti. Karena kalau cuma begitu, anak kecil juga bisa ngotot ngaku dia yang benar melulu.
Sekali lagi bencana dan kesulitan di negeri ini menampakkan pelajaran buat kita semuanya. Masih ada peluang merajut kebersamaan tanpa aba-aba dari pemerintah. Tentu kita tidak mau hanya karena saling menunggu lalu kita perani Waiting for Godot-nya Samuel Beckett di ranah nyata ini. Ayolah kita semua bergerak gegas, berfikir cerdas, berjejaring luas, serta bersinergi ikhlas. Bismillaah. Laa haula wa laa quwwata illa billaah
Bila pemerintah kita anggap salah, biarlah itu menjadi refleksi mereka sendiri. Sementara sambil terus mengingatkan kebenaran dengan kesabaran, kita kudu terus jalan. Tak perlu menunggu kiprah pemerintah dan pesan “arahan dari atasan” atau kita akan mati pelan-pelan dalam keputusasaan.
Sekolah Penggembala SABDA (Standar Bertaraf Dunia Akhirat)
Lamongan, In the Cold November Rain, 2010
No comments:
Post a Comment