Satu di antara analogi beliau dalam menggambarkan kehidupan akhirat dunia yang terus kami renungi adalah 'Tuku Sapi Katutan Tali'. Kalimat lengkap yang biasa beliau ucap adalah “nek tuku sapi pasti katutan tali, tapi nek tuku tali gak mungkin katutan sapi”. Terjemahan bebasnya, kalau seorang membeli sapi pasti dapat seutas tali, tapi kalau seseorang beli seutas tali tak mungkin akan dapat seekor sapi. Analogi “tuku sapi katutan tali” ini merujuk fakta transaksi di pasar-pasar hewan pada umumnya, yakni jual beli seekor sapi selalu sepaket dengan tali yang mengikat di lehernya.
Rupanya analogi itu bermakna sepadan dengan sebuah anjuran dalam Al Quran, “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. (Q.S. Al-Qasas: 77)
Pesan dari Bapa Guru dan ayat Al Quran itu jelas. Bahwa kita harus fokus memikirkan kebutuhan hidup di akhirat dengan konsekwensi pasti: kehidupan dunia pasti akan terfikir juga. Logika dan hitung-hitungan matematikanya, masa hidup di akhirat lebih lama dan tidak ada lagi kesempatan berusaha bekerja bila kita kekurangan sandang, pangan, papan. Sehingga ia lebih pantas diprioritaskan untuk dipikirkan secara serius dan perlu perhatian khusus.
Sedang kehidupan dunia yang kita jalani, kita rasa, kita lihat, dan kita alami saat ini lebih pendek waktunya. Kebutuhan langsung bisa dirasakan dengan indera fisik yang kita punya. Sehingga sudah pasti, tanpa diminta dan secara naluri manusiawi, kebutuhan dunia akan kita upayakan pemenuhannya.
Fakta kemudian membuktikan bahwa apa yang disampaikan Bapa Guru itu bisa dilakukan dengan cara sederhana, sealur logika, manusiawi, bersistem, terorganisir, dan diakui oleh semua. Analogi itu bukan cuma teori yang jauh panggang dari api. Kiasan “tuku sapi katutan tali” bukan hanya utopia yang mustahil perwujudannya.
Alhamdulillah atas pertolongan kasih Allah, melalui pesantren gratis yang telah dirintis beliau sejak tahun 1961, Bapa Guru telah melaksanakannya. Hingga kini, kami bersama lima ratusan santri mulai dari balita hingga lanjut usia, dari Aceh hingga Papua, bermukim di asrama secara cuma-cuma. Setiap hari kebutuhan pendidikan, akomodasi, konsumsi, jaminan kesehatan, bimbingan kerohanian, hingga tempat pemakaman disediakan tanpa menarik iuran.
Selain kegiatan karitas berbasis asrama itu, sebagai NGO berbasis pesantren, program pengembangan masyarakat yang dirintis beliau juga banyak membawa manfaat. Diantaranya melalui tiga program utama: pendidikan, kesejahteraan sosial dan pelestarian lingkungan.
Apa yang diajarkan Bapa Guru mencambuk kami para santri dan golongan cendekia agama yang biasanya terlena dengan hafalan kitab-kitab kajian. Jujur kita sering mengira, bahwa dengan pengakuan syahadat, seperangkat tertib sholat, puasa, 2.5% zakat, gelar haji atau ustadz kiranya sudah cukup memenuhi kebutuhan akhirat. Padahal semua itu bukan jaminan. Belum lagi bila ritual wajib itu nanti terserang virus pamrih yang merusak nilai ganjaran. Maka lenyaplah jatah akhirat kita.
Janganlah menyanggah dengan berdalih kita sudah beramal akhirat. Karena jika dihitung logika matematika, apa yang telah, sedang dan akan kita usahakan di dunia, sangat jauh melampaui apa yang telah kita usahakan untuk akhirat. Padahal ayat di atas jelas memerintahkan kita untuk “prioritas mendahulukan kebutuhan akhirat, sambil mengurus kebutuhan dunia”. Hasilnya akan berwujud perbuatan baik terhadap sesama dan keadilan sosial bagi seluruh penghuni bumi.
Nah, ini praktiknya seringkali terbalik. Kebutuhan dunia siang malam dipikirkan, urus akhirat belakangan. Akhirnya terjadilah lomba hedonis dan konsumerisme massal. Senanglah aku, matilah kamu. Korupsi membudaya karena ingin mengenyangkan kebutuhan pribadinya di dunia saja. Tak pernah terlintas ingin memenuhi kebutuhan akhiratnya. Ini menimpa bukan kepada orang awam saja, bahkan kepada yang terkenal cendekia agama.
Secara kritis Allah juga menggugat pengakuan iman dan kepercayaan akhirat kita dengan firmanNYA di QS. 2 : 8, “Dan diantara manusia ada yang berkata, “Kami beriman kepada Allah dan Hari Akhir.” Padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Juga terdapat pada QS. 30: 7, “Mereka mengetahui yang lahir (tampak) dari kehidupan dunia; sedangkan terhadap kehidupan akhirat mereka lalai.
Sebagai pertanyaan pembuktian sederhana, “jika hari ini kita sudah sarapan sepiring nasi di dunia, sudahkah kita, sudahkah kita siapkan sarapan sepiring di akhirat sana, dengan cara memberi sarapan tetangga kita yang miskin dan atau gelandangan yang kelaparan?”
Tuku sapi katutan tali. Bila fokus mengurus akhirat, urusan dunia pasti terbawa. Karena yang diteladani dan diajarkan Bapa Guru seperti itu, maka usaha beliau membawa manfaat sosial yang besar. Hasil kerja halal yang diperoleh beliau bukan dinikmati pribadi atau sekeluarga saja. Tapi dimanfaatkan untuk kemanusiaan, untuk kebersamaan. Program kepesantrenan tidak hanya ngaji dan sibuk adu teori, tapi segera aksi, aksi, aksi. Qaulan wa fi'lan.
Tuku tali gak mungkin katutan sapi. Bila sibuk mengurus dunia saja, akhirat seringkali terlupa. Bukti dari analogi ini dengan mudah kita temukan. Kasus korupsi, kriminalitas, tingkah asusila, perbuatan amoral, meningkatnya angka kemiskinan, semakin acuhnya para pemimpin, kenakalan remaja, dan seterusnya adalah bukti bahwa kita fokus mengurusi dunia saja. Kita luput memikirkan urusan dan tanggung-gugat peradilan akhirat.
No comments:
Post a Comment