Para sahabat yang melihatnya dibuat kagum dan terkesima. Mereka saling bergumam bahwa sang prajurit pasti pahlawan syahid dan surga akan menerimanya. Ketika hal ini disampaikan ke Rasulullah, para sahabat dibuat lebih kaget lagi. Karena menurut Rasulullah, sang prajurit tidak mati syahid. Ia justeru mati sebagai pendosa yang kurang sabar dengan perjuangannya. Setelah diselidiki, ternyata prajurit itu meninggal bunuh diri. Karena tak kuat menahan derita akibat luka, ia memotong urat nadi tangannya hingga maut menjemput.
Kisah elegi dari hadis ini memberikan pelajaran buat kita semua yang sekarang sedang berjihad memperjuangkan kemanusiaan. Bahwa bagaimanapun niat baik itu, tetap dibutuhkan keihklasan dan kekuatan bimbinganNYA sampai akhir. Kerelawanan aksi peduli dan meriahnya rilis berita saja belum cukup untuk menorehkan catatan baik bahwa kita layak dianggap sang pejuang. Apalagi disejarahkan sebagai seorang pahlawan. Karena pada akhirnya, hasil final catatan Tuhan yang menentukan: terutama saat kita wafat, apakah ditetapkan sebagai pemenang atau pecundang.
Hari-hari ini kita menemukan banyak berita tentang relawan di medan kedaruratkebencanaan. Mereka gigih membantu tanpa pamrih. Kemarin kita warga Indonesia memperingati Hari Pahlawan untuk mengenang pengorbanan para pejuang revolusi kemerdekaan. Dua hal itu, yakni kerelawanan dan kepahlawanan menjadi relevan kita renungkan. Terutama untuk refleksi pribadi penulis yang saat ini ditugaskan menjadi relawan. Benarkah apa yang sudah kita lakukan dan kita anggap baik sejauh ini layak diapresiasi atau bahkan dicatat sebagai pahlawan?
Belajar dari hadis di atas, renungan ini menemukan relevansinya lagi. Bila dipikir, kurang apa lagi pengorbanan prajurit ini. Ia sudah berperang di sisi Rasulullah. Merelakan jiwa raganya untuk kepentingan agama Allah. Sebagai relawan ia ikut menjemput maut, bertempur dan gugur demi cita-cita mulia. Tapi hanya karena kurang sabar menahan kesakitan ia kehilangan kesempatan menjadi pemenang. Karena kurang cakap mengelola emosinya dan kurang ikhlas mental, amal sosialnya tertolak. Takdirnya malah menetapkan ia mati su'ul khotimah di saat akhir. Na'udzu billaahi min dzaalik.
Ya, kita memang patut dan wajib bersyukur karena Allah masih menghadiahi semangat kesukarelawanan di saat marak ketidakpedulian manusia terhadap sesamanya. Kita perlu menjaga elan kesetiakawanan di tengah egoisme barbarian yang melanda dunia. Kita harus menumbuhkembangkan kader-kader 'sosialis beriman' di tengah gencarnya iklan kapitalisme profan yang menyengsarakan. Kita butuh keberlanjutan aksi-aksi peduli nan manusiawi untuk melestarikan nilai-nilai kebenaran di bumi ini.
Namun di atas semua niat baik itu, ada hal penting yang tidak boleh kita abaikan. Pertama, nilai ilahiah yang melandasi kerja-kerja kita. Bahwa pekerjaan kita ini kudu didasari oleh prinsip kemanusiaan murni. Menolong dengan semangat kasih sesama tanpa membedakan SARA. Prinsip itu merujuk sifat Allah yang Ar-Rahman (Pengasih) dan Ar-Rahiim (Penyayang). Hanya karena atas namaNYA, kita bekerja sukarela. Semoga dengan pekerjaan kemanusiaan ini, kita tertulari dan diberkati sifat kasih sayangNYA. Bismillaahirrahmaanirrahiim
Kedua, kewaspadaan menghadapi musuh ghaib setan yang beroperasi di hati kita. Setan dengan kelihaian muslihatnya bisa dengan mudah menyusupkan perasaan bangga berlebihan dan godaan ujub riya' di setiap aktifitas kita. Sifat itulah yang dapat merusak kesucian amalan baik dan dicatat sebagai dosa syirik. Ini yang mesti kita prihatini. Apalagi bila kita berani meninggalkan keluarga, karir dan pekerjaan demi kerja kemanusiaan, ajakan setan agar kita terbujuk pamrih kian berlebih.
Kadang karena saking pandainya setan, rasa pamrih itu tidak sampai terucap, tapi cuma terbersit di hati. Namun itu sudah cukup mengurangi keikhlasan amalan. Mari kita waspadai secara jeli dan sejak dini. Jangan sampai kesukarelawanan kita menjadi percuma karena terpengaruh bisikan setan yang mengajak riya'.
Ketiga, niat jihad investasi penanaman modal akhirat. Bahwa apa yang kita lakukan semata berharap derajat 99 % di akhirat berupa ridho dan ampunanNYA. Makanya di setiap detik aktifitas kemanusiaan kita, iringi dengan konsentrasi dan kekuatan doa agar pelayanan kita diterima olehNYA. Seraya kita berharap bakti kasih peduli kita bisa bermanfaat untuk kemaslahatan umat dunia akhirat. Amal baik kita dicatat tanpa cela dan bisa kita tuai kelak di kehidupan selanjutnya.
Jadikan semangat kesukarelawanan dan refleksi hari Pahlawan sebagai misi awal mengembalikan fitrah penciptaan insan. Memanusiakan manusia, mengagamakan agama, mengimankan iman. Semoga sampai di akhir tujuan, kita akan tercatat sebagai mukhlasin yang bekerja lillaahi ta'ala. Kita dicatat wafat tanpa membawa dosa. Meski kita dimakamkan tanpa penghormatan, tanpa tembakan salvo ke udara, dan tanpa tanda penghargaan, pada akhirnya kita telah menang perang. Mudah-mudahan kita disemayamkan oleh Tuhan sebagai pejuang kebenaran: seorang pahlawan tanpa nisan.
Sikakap, Kepulauan Mentawai, 11/11/10
No comments:
Post a Comment