Thursday, November 04, 2010

Bukan Bencana Biasa

Saat gempa dan tsunami meratakan wilayah Serambi Mekah dengan tanah, kita semua kaget terperangah. Seolah tak percaya bencana sengeri itu bisa menyapa Indonesia. Setelah tsunami itu, bencana berlangsung bak parade yang panjang bersambung. Tak pernah berhenti hingga kini. Kecelakaan transportasi laut, darat dan udara seringkali terjadi. Bencana alam memamerkan tarian mautnya. Berproses sistemik dan periodik. Ia meliuk-liuk menubruk ujung barat Indonesia hingga mencapai timur Papua.

“Apabila bumi diguncangkan dengan guncangan yang dahsyat. Dan bumi telah mengeluarkan beban berat. Dan manusia bertanya, “Apa yang terjadi pada bumi ini?” (Qs. 99 : 1-3).


Kita pun bertanya-tanya. Kenapa alam seolah marah dan menyerang kita semua. Padahal kita sudah merasa berbuat baik, terjaga dari perbuatan dosa dan sempurna memerankan tugas sebagai hambaNYA. Lalu apa yang keliru dengan semua itu?

Sebagian saudara kita memahami fenomena bencana ini sebagai teguran keras dari Tuhan atas kerusakan moral yang kian akut dan massal. Sebagian mengartikan murka alam dipicu ulah elit politik yang jahat dan pemerintahan yang korup. Sebagian lagi berasumsi ini semua merupakan proses alamiah dari siklus bumi yang tengah menyesuaikan sunnah kosmos-nya.

Lepas dari asumsi-asumsi itu, saya mengajak kepada kita semua untuk refleksi. Mencoba mengarifi diri atas fenomena bencana ini tanpa menyalahkan pihak lain. Kita mulai dengan mau jujur dan berani menyalahkan diri kita sendiri. Bahwa kita semua sedang melakukan kesalahan. Kita sendirilah yang memanggil bencana itu datang. Kitalah yang menjadi penyebab korban-korban berjatuhan di sepanjang wilayah kedaruratbencanaan.

Kita salah karena membiarkan fakta penyimpangan moral dan kejahatan sosial berlangsung di depan mata kita. Kita salah mengabaikan nasib fakir miskin dengan cara menumpuk kekayaan pribadi. Kita salah menafikan keberadaan Tuhan karena waktu habis untuk kesibukan diri memburu rejeki. Kita merebut, mencintai dan menikmati air, udara, tanah, tanaman, sawah, ternak, hasil laut, minyak, hasil pertambangan dan semua ciptaan milik Tuhan, tapi kita sendiri lupa mengingat apalagi mencintaiNYA.

Kita salah karena hanya bisa memaki dan meneliti kesalahan orang lain, mengingkari dosa sendiri yang menutupi mata hati. Kita salah karena tekun berdoa ketika susah, tapi lupa bersyukur ketika memperoleh anugerah. Kita keliru menikmati rejeki halal hanya untuk keluarga saja, tidak sempat berbagi dengan keluarga lain yang telantar dan miskin. Kita salah karena merasa sudah sangat baik sehingga menolak dikritik. Kita salah karena merasa selalu paling benar dan gampang menyalahkan orang lain.

Inilah sesungguhnya bencana luar biasa yang luput dari perhatian kita. Bencana yang sudah berlangsung lama dan memporak-porandakan ikatan kemanusiaan kita. Bencana yang membuat ruang keluarga kita tercerabut dari fungsinya. Bencana yang memaksa kita saling pecicilan dan sibuk mengawetkan pertikaian. Bencana ini bukan bencana biasa. Tapi bencana sangat luar biasa dahsyat. Karena semua manusia menjadi korbannya dan dampak sebarannya merata di penjuru dunia. Bencana itu adalah kelalaian kita menghitung dosa pribadi dan meneliti kesalahan sendiri.

Jika bencana alam masih memungkinkan untuk diawasi dan diantisipasi sejak dini, maka bencana yang menimpa diri kita ini sulit dideteksi. Kalaupun sampai berhasil kita ketahui, biasanya malah kita tutupi karena takut terlihat orang lain.
Sekali lagi mari kita berani refleksi jujur mengarifi diri. Belajar bersama bencana yang terus bersambung ini.

Satu pesan yang bisa kita ambil adalah jangan mudah menyalahkan orang lain, apalagi sampai menjadikan korban bencana sebagai pihak tertuduh penyebab turunnya siksa. Karena pada hakikatnya, kita juga punya salah dan dosa yang merangsang bencana itu datang. Meminjam terminologi filsafat Cina, pikiran, ucapan dan tindakan kitalah yang membuat keseimbangan unsur Yin Yang menjadi hilang.

Bencana sepertinya akan terus mengejar hingga kita sadar dan mulai tekun refleksi diri. Berhenti menyalahkan orang lain dan belajar mengarifi kesalahan pribadi. Menganggap bencana sebagai “berita biasa” karena saking seringnya muncul di media, bisa jadi bagian dari proses bencana itu sendiri. Selanjutnya bencana hukuman alam akan menggilir kita di saat kesadaran sudah terlambat menepati batas tenggat.

ditulis jelang naik KRI 543 Teluk Cirebon sambil melambai damai ke arah Mentawa

No comments: