Tahun 1994, Bapa Guru MA. Muchtar diundang oleh Yayasan Bina Swadaya Jakarta untuk menghadiri sebuah diskusi. Tema yang dikemas dalam acara itu adalah “Iman dan Pembangunan”. Acara ini lebih pas disebut dialog antar agama. Karena beberapa tokoh agama sengaja dihadirkan menjadi pengisi materi.
Bapa Guru mendapatkan kesempatan menjadi pembicara. Saat itu beliau dipanel bersama Romo Pater Dijkstra, seorang rohaniawan senior kelahiran Belanda. Ada juga Bapak Soebadio Sastrasatomo, tokoh sosialis kawakan negeri ini.
Diskusi mengalir dinamis dan cair. Romo Pater mendapat giliran pertama menyampaikan materi. Para peserta menanggapi Romo Pater dengan antusias karena sepertinya sudah akrab sebelumnya. Setelah Romo selesai, giliran selanjutnya Bapa Guru MA. Muchtar memaparkan kajian ilahiahnya.
Bapa Guru mendefinisikan iman dalam konteks pembangunan kekinian. Secara cerdas beliau bisa membawa iman yang biasanya menggantung di wilayah “langit tinggi” kembali lagi menjejak bumi. Menjelmakan nilai-nilai iman ke dalam praktik riil kehidupan. Membahasakan iman dengan analogi yang begitu mudah dimengerti.
“Iman itu memiliki dimensi vertikal dan horizontal”, kata Bapa Guru. Dalam bahasa Al Quran disebutkan “Hablun minallaah-hablun minannaas”. Semakin tinggi iman yang dimiliki seorang hamba kepada TuhanNya, maka semakin tinggi empati dan peduli hamba itu kepada sesamanya. Dalam konteks keIndonesiaan yang majemuk, Bapak Guru menyebutkan sila pertama hingga terakhir dari dasar negara kita: Pancasila.
Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab; Persatuan Indonesia; seterusnya hingga sila kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Semua sila bila digabungkan akan bermakna: Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Musyawarah; Keadilan Sosial. Artinya, bila orang Indonesia ini semua bersatu mengamalkan Pancasila, memiliki iman kepada Tuhan, maka akan terwujud keadilan sosial dan pemerataan pembangunan.
Dalam konteks sosio-religius, semakin dekat seseorang kepada Tuhan, maka akan semakin sibuk orang itu melayani-menolong-berbagi peduli kepada sesama manusia. Sifat-sifat Tuhan akan menular kepada hamba itu. Bapa Guru menerangkan, “Sifat Tuhan itu Maha Pengasih dan Penyayang dan selalu sibuk melayani permintaan semua hambanya”.
Nah, kalau sekarang belum terjadi pemerataan pembangunan di Indonesia, berarti ada yang keliru dengan pengakuan imannya. Lebih tepatnya, ada yang salah dengan praktik ber-Pancasila-nya. Sampai di sini, peserta tetap tekun mengikuti materi. Beberapa nampak memegang dagu sambil mengangguk-angguk menyimak khusyuk.
Bapa Guru menyimpulkan bahwa pengamalan iman dan aspek pembangunan kemasyarakatan sangat berkait erat. Iman itu bukan sesuatu yang utopis. “Iman itu sangat membumi dan humanis.”, terang beliau. Kemudian Bapa Guru menutup pemaparan dengan cerita tentang binatang peliharaan beliau.
“Saya punya puluhan ekor kucing di rumah. Setiap hari saya memberi makan mereka dua kali. Pagi dan sore hari.”, ungkap beliau. Kucing-kucing itu setiap kali mendapat jatah makanan atau ketika berburu dan berhasil mendapatkan seekor tikus, pasti akan dinikmati sendiri. Kalaupun ada lebih paling dibagi sama anak isteri. Kucing lain yang coba-coba mendekat minta bagian, pasti akan dimaki habis-habisan. Bahkan tak jarang saling cakar-cakaran. “Itu kucing Lamongan.”, ujar Bapa Guru.
“Saya tidak tahu apakah kucing Jakarta juga begitu. Saya tanya sekarang kepada hadirin sekalian. Apakah kucing Jakarta perilakunya sama seperti kucing Lamongan yang saya ceritakan tadi?”, pancing Bapa Guru. Spontan peserta berteriak menjawab serempak, “Samaaaaaaa !”. Bapa Guru tersenyum. Sementara peserta diskusi menunggu dan mencoba menerka. Apa kaitan cerita kucing tadi dengan tema diskusi “Iman dan Pembangunan”.
Bapa Guru melanjutkan pernyataannya, “Nah kalau kita manusia yang mengaku berilmu, beragama dan terpandang beriman, lalu bekerja mendapatkan rejeki hanya kita nikmati bersama anak isteri. Tidak ingat dan enggan berbagi kepada saudara, tetangga atau kaum papa yang telantar dan lapar. Lha kok sama ceritanya dengan kucing peliharaan saya. Kok sama dengan kucing Lamongan dan kucing Jakarta.”.
Sejenak Bapa Guru jeda dan berhenti. Ruangan diskusi menjadi sepi. Audiens terpana. Romo Pater Dikjstra mengernyit sambil memandang Bapa Guru dengan seksama. “Lalu kita ini apanya kucing ya. Apakah anaknya, adiknya, besannya, atau apanya? Kok memiliki sifat yang sama?”, tanya Bapa Guru sambil terus menebar senyum damai beliau yang khas.
Peserta dan panelis yang sedari tadi diam merenung mulai tersenyum. Awalnya senyum biasa tapi kemudian berganti riuh tawa. Seisi ruangan mendadak ramai. Menertawakan kekonyolan dirinya masing-masing. Seorang peserta berdiri, “Pak Muchtar, kawan saya ini menantunya kucing !”, serunya sambil tertawa menuding-nuding rekan di sampingnya.
Bapak Soebadio yang berjejer dengan Bapa Guru di meja panelis spontan menyambung, “Wah, kalau begitu ceritanya Pak, kucing-kucing Jakarta jauh lebih ganas daripada kucing Lamongan!”, akunya. Pernyataan jujur Pak Soebadio disambut tawa riuh peserta. Sekali lagi, tertawa karena sadar kenyataan yang ada.
Pertanyaan Bapa Guru tadi terjawab dengan kenyataan tak terbantahkan. Menukik jauh ke lubuk kesadaran. Bahwa iman kita belum ada. Materi yang dibawakan Bapa Guru melahirkan pencerahan baru. Sebuah upaya revolusioner yang harus kita kerjakan segera. Membangun peradaban kemanusiaan yang berketuhanan dan berkeadilan berdasarkan iman. “Memanusiakan manusia, meng-agama-kan agama, mengimankan iman.’, kata beliau di akhir pemaparannya.
Ya, karena kita bukan keluarga kucing, mestinya kita akan senang berbagi. Karena kita manusia berilmu, beragama, dan beriman, seyogyanya kita tidak saling cakar-cakaran hanya karena rebutan makanan, ambisi dan atau kedudukan.
Karena kita manusia Indonesia yang menganut ideologi Pancasila; mengaku kaum beriman; mestinya kita lebih rajin retreat menangisi dosa sendiri daripada meneliti dan mengumbar kesalahan orang lain.
Amanat reformasi akan jauh lebih bermakna jika ditujukan kepada perbaikan dan koreksi diri kelompok/pribadi. Bukan makah berlomba-lomba membuka dosa dan mencatat kesalahan orang di berbagai media.
Atau apakah karena kita keluarga kucing –atau setidaknya tertular virus flu kucing--, sehingga sampai hari ini kita sulit berjalan seiring?? selalu berselisih tak pernah mau bersatu padu saling membantu????? Pikirkanlah secara arif bijaksana. Karena hanya kita yang bisa memilih jawabannya.
No comments:
Post a Comment