Ini tentu membingungkan. Pengguna awam atau end user yang belum menguasai semua fitur aplikasi (dalam waktu 6 bulan - 1 tahun), sudah ditawari update rilis yang baru lagi. Bandingkan dengan Win**** yang hanya mengeluarkan 1 jenis rilis dan waktunya relatif cukup bagi usernya untuk membiasakan diri memakainya.
Di beberapa kesempatan sosialisasi F/OSS, saya bahkan sempat ngeyel bahwa pake Win**** bajakan itu hukumnya HARAM. Ancamannya NERAKA (Kebetulan target audiens saya memang dari komunitas pesantren / madrasah. Sehingga saya pikir, pas lah kalau pakai istilah Halal-Haram, Surga-Neraka, dst.) Saya terpaksa pake jurus pamungkas itu, karena jalan 'diplomasi' baik-baik sudah mentok. Mereka kebanyakan ngotot berpikir Win**** adalah sistem operasi termudah, terbaik, dan terkenal.
Saya tidak terlalu menyalahkan bila mereka berfikir sesederhana itu. Mayoritas pengguna komputer di Indonesia adalah end user dan Win**** sudah terlalu lama merajalela menyesaki hardisk lepie/PC di sini. Sehingga yang di pikiran awam mereka: PC / Laptop baru disebut komputer kalau ada ikon jendela melambai berwarna merah, ijo, biru & kuning. Pas.
Masalah lisensi aseli atau bajakan, itu urusan belakangan. Toh ancaman razia dan pidana penjara dengan UU HAKI, UU ITE, dll, juga belum efektif berlaku sesuai tujuan awalnya. Masih nyop-nyopen dan belum ajeg. Masyarakat pun kerasan menikmati produk bajakan.
Tentu saja ini masukan sekaligus kiritik berharga buat rekan-rekan pegiat F/OSS, terutama para pengembang. Jika memang mau memasyarakatkan IGOS secara cepat, tepat, dan hemat, perlu dipikirkan mayoritas pengguna komputer di Indonesia adalah end user. Mereka tahunya make tanpa ingin tahu sourcecode, repo, GPL, ikut madzhab RMS Santo iGNUcius atau Nabi Linus, dan bahasa teknis rumit lainnya. titik.
http://tekno.kompas.com/read/xml/2010/03/29/18272392/Ranking.ICT.Indonesia.di.Bawah.Vietnam
Bagi para pegiat F/OSS dan Linuxer, semarak opensource di Indonesia ditandai gairah munculnya komunitas pengembang mungkin perlu disyukuri. Daerah-daerah yang telah migrasi lalu membuat distro yang khas bercirikan wilayahnya, juga membanggakan. Namun seperti kata bijak, memulai lebih mudah daripada menjaga keberadaannya. Merebut kendali lebih mudah daripada mempertahankan.
Jangan sampai fenomena membersyukurkan itu hanya jadi euforia sebagaimana syahwat sesaat kemudian hilang dari rekam jejak hikayat. Beberapa rekan di daerah bercerita, Pemkab/Pemprop-nya telah migrasi resmi tapi ternyata balik maning ke sistem operasi semula. Tentunya yang non-ori alias bajakan. Ironis bukan?
Kembali ke awal maksud tulisan, bahwa saya bicara mewakili pengguna awam F/OSS. Sudah saatnya rekan-rekan developer Indonesia buat satu distro yang berlaku nasional dan bisa digunakan oleh semua kebutuhan komunitas, terutama para pemula/end user. Tentu ini perlu penyatuan ego nasional. Para Linuxer/Opensourcer jangan ngotot sendiri-sendiri menggemari aliran yang mereka sukai/tekuni lalu bergeming bahwa distro merekalah yang patut dikembangkan.
Satu yang pasti. Distro atau apapun namanya nanti bisa diterima dan dipakai secara mudah, murah dan sah. Yang bisa diharapkan menghapus rekam jejak Win**** non-ori dan produk proprietary illegal lainnya dari pikiran para pengguna komputer di Indonesia. Pengembang DewaLinux, RimbaLinux, IGOS Nusantara BlankOn, dan beberapa distro lokal lainnya mungkin bertemu untuk membenahi, melanjutkan dan menyatukan lagi cita-cita nasionalnya. Yang handal dan anti mahal plus unggul di fitur-fiturnya. Jangan lupa, ramah pengguna.
Bersatu Kita Teguh Bercerai Kita Runtuh.
Allaahu Akbar. Merdeka !!!
No comments:
Post a Comment