Jawaban dari pertanyaan di atas bisa beragam, tergantung dari sudut pandang mana dan siapa yang memandangnya. Menyarikan beberapa pendapat dan sumber-sumber informasi lain, uraian singkat ini mencoba mencari tahu jawabannya.
Pada awal kejadiannya, menurut kitab suci Al Quran (At Tin:4), manusia adalah mahakarya yang sempurna. Bisa dibilang, ia merupakan masterpiece Tuhan dalam sejarah penciptaan para penghuni bumi. Dalam diri manusia ditanamkan beberapa intuisi yang mewakili unsur Kasih Tuhan, Kepatuhan Malaikat, Kejahatan Jin/Syetan, sifat manusia itu sendiri, serta naluri hewan. Yang terakhir ini terekam dalam kerakusan dan egoisme manusia. Walau demikian ia tetap bermanfaat, yakni berguna untuk survival dan berkembang biak.
Supaya terlihat sempurna, Tuhan memberikan akal untuk berfikir, budi untuk menilai, serta agama (opsional) yang berguna sebagai ‘kompas’ hidupnya. Itulah yang membuat derajat manusia lebih terhormat dibandingkan makhluk lain. Namun bila tak bisa menjaga kelebihan itu dengan hati-hati, kenaifan yang kerap dilakukan manusia akan membuatnya nyungsep ke limbah dosa sehingga derajatnyapun harus turun menjadi tak lebih mulya dari seekor binatang.
Bila Al Qur’an menguraikan demikian, maka disiplin antropologi menjelaskan dengan pemaparan sedikit berbeda meski kesimpulan akhirnya bisa dikatakan tak jauh terpaut. Menurut antropologi, proses untuk bisa menjadi manusia seperti saat ini (neolithic) tercipta melalui perubahan bertahap mencakup fisik dan budayanya. Semua itu bisa terpenuhi dengan cara akulturasi, asimilasi, kemauan berinovasi, serta pengaruh lingkungan/alam.
Bahwa kajian antropologi ragawi secara khusus menempatkan manusia dalam kelas mammalia (hewan), itu bisa jadi benar. Sebab kenyataannya manusia memang dibekali animal insticnt sebagai alat untuk bertahan hidup: berburu, beranak dan menyusui, hidup berkelompok, dst. Sepintas memang mirip. Tapi bila dicermati mendalam, ada beberapa kelebihan tertentu yang tidak dimiliki makhluk lain, sehingga manusia terlihat setingkat lebih unggul. Tentang kebudayaan misalnya. Manusia mengenal dan memiliki pengetahuan, nilai-etos, serta pandangan hidup.
Kelebihan itu masih ditambah lagi dengan unsur religi, sistem kekerabatan sosial, teknologi, bahasa, dan kesenian. Bandingkan dengan hewan yang hanya dominan naluri kebinatangannya. Berangkat dari konsep inilah manusia sering disebut sebagai hewan yang berakal (homo sapiens) atau dalam bahasa mufassirin dinamakan al hayaawanu natiq.
Idealnya, dengan kelebihan-kelebihan yang dipunyainya, para manusia tentu akan mempertimbangkan dengan arif-bijak segala sesuatu sebelum dilakukan. Menyesuaikan dengan derajat mulya yang disandangnya. Sangat tidak layak apabila ditemukan pola hidup yang mirip dengan kebiasaan hewan. Lantas bagaimana bila sekarang muncul gelagat dari perilaku masyarakat yang mencerminkan perbuatan hewan?
Jawabnya adalah dehumanisasi. Penyebabnya bisa bermacam-macam. Mungkin karena unsur animal instinct lebih kuat menelikung mengalahkan human being. Sehingga visualisasi yang keluar adalah hewan berwujud manusia. Ambil contoh kasus-kasus kriminal yang kini ngetren dipublikasikan. Pembunuhan dengan cara mutilasi misalnya. Terlihat sekali betapa jati diri seorang manusia yang (sebenarnya) altruis-filantropis berangsur-angsur sirna --jika tak bisa disebut habis. Bagaimana mungkin korban yang sudah layu mayat masih sempat dipotong-potong sebelum dikuliti.
Perbuatan manusia yang menyerupai binatang dapat ditemukan pada kasus-kasus incest --dengan atau tanpa kekerasan-- yang juga lagi marak saat ini. Contoh lain: maling/jambret yang dibakar hidup-hidup; aparat menzalimi masyarakat seperti tentara melakukan senam saja; sekelompok masyarakat mengarak kepala manusia sambil cengengesan, berteriak berjingkrak; free sex yang mulai digemari; fenomena selingkuh suami/istri, dst. Masihkah sang pelaku layak menyandang sebutan manusia?.
Perbuatan amoral yang sulit disentuh hukum: para politisi yang seakan tak kenal bosan saling menuding; sekelompok orang membikin kekacauan karena tak bisa menerima wilayah kekuasaanya dijamah; koruptor yang bertambah banyak; dll. Apalagi bila menengok kasus kriminal semacam traficking. Kaum nudis yang konon sampai sekarang masih lestari. Sebuah majalah mingguan baru-baru ini menurunkan laporan tentang adanya restoran di Cina yang menyediakan sup bayi sebagai menu istimewanya. Na’udzubillah.
Membandingkan kondisi ideal manusia dengan kenyataan yang ada sekarang, mengingatkan kita akan nasib Persebaya tim sepakbola kebanggaan warga Surabaya. Terdapat kemiripan alur cerita walau keduanya memiliki perbedaan mendasar. Seperti diketahui, Persebaya terkenal sebagai satu dari sekian kesebelasan elit Divisi Utama yang selalu diunggulkan dalam bursa calon juara. Namun karena salah urus prestasinya pun jeblok.
Pencapaian hasil buruk membuat Persebaya terpaksa ‘turun kelas’ diringi isak tangis pendukung fanatiknya. Memang sungguh sayang. Tidak pantas rasanya bila tim semegah Persebaya harus melakoni cerita pahitnya di Divisi I untuk kompetisi tahun ini.
Senasib dengan Persebaya yang terkena degradasi, kini manusia juga mengalami hal serupa. Meminjam bahasa bola, akal dan nuraninya mengalami degradasi. Peradaban teknologi melaju pesat, namun perikemanusiaannya cuma tersisa sedikit di ujung bibir.
Jangan heran bila menyimak pendapat Komaruddin Hidayat, pemerhati tasawuf sekaligus Ketua Yayasan Paramadina. Beliau menyatakan bahwa jika dicermati dari psikologi tasawuf, saat ini manusia sedang berada pada level hewani, bukan level insani lagi. Kelakuannya mirip binatang. Meski fisik masih asli manusia, tapi nilainya sederajat dengan hewan yang notabene lebih hina dan tidak mulya.
Vonis al Qur’an lebih mengkhawatirkan. Dalam sebuah ayatnya mengatakan, manusia suatu saat bisa lebih nista dari binatang. Sebab manusia dibekali akal budi sementara binatang cuma diberi naluri. Kadang akal budi sudah memberitahu bahwa perbuatan tertentu itu salah, tapi manusia enggan menghindar malah dengan sadar melakukannya. Sangat tidak sepadan dengan nilai sempurna yang disandang. Bagaimana mungkin manusia, makhluk dengan status terbaik berlaku seperti hewan yang termasuk ‘makhluk kelas dua’?
Bila Persebaya optimis mampu mengembalikan pamornya dengan berlaga di Divisi Utama, tentu harapan yang sama bisa digelar manusia. Artinya untuk dapat kembali normal secara moral, manusia memiliki potensi berlimpah. Selain karena berpredikat makhluk yang berakal-budi, bukankah Tuhan menjanjikan bala bantuan (salvation) bila ada manusia yang meminta doa dengan niat dan kesungguhan?.
No comments:
Post a Comment