
Redaksi Mushhaf Al Qur’an sampai perlu ‘meminjam’ nama semut sebagai tanda kenal untuk salah satu suratnya sebagai bayyinah buat kita. An Naml demikian Al Qur’an menulis. Bagi saudara-saudara kita yang Muslim, tentu mengetahui dari kisah Al Qur’an, betapa arif dan bijak sikap semut saat menghadapi Raja Sulaiman dan tentara multimakhluk-nya.
Membicarakan semut lalu membandingkannya dengan alur kehidupan manusia, baik dalam lingkup luas maupun kecil, sungguh menarik. Apalagi jika dikaitkan dengan pengelolaan sebuah organisasi/kelompok. Walau secara anatomis-biologis semut dan manusia berbeda, ada beberapa hal unsur yang dapat menyamakan kedudukan mereka.
Status sebagai makhluk Tuhan, selalu berupaya survival, adalah sedikit kemiripan yang membuat keduanya bisa disejajarkan. Yang pasti, semut dan manusia sama-sama memiliki kecenderungan: hidup berkelompok. Dari sini kemudian, lahirlah apa yang dinamakan organisasi yang secara gramatikal dapat diartikan “mencapai tujuan tertentu secara bersama-sama dengan mencari, mengkombinasikan, dan menggerakkan seluruh potensi/talenta setiap individu2 dari kelompok itu”.
Lihat bagaimana kinerja semut dalam aktifitas sehari-harinya. Mereka larut dalam ritme kerja yang dinamis, disiplin, teratur dan akur. Setiap bagian berfungsi normal. Ada semut Raja, pekerja, penjaga, kurir, dan pencari informasi. Tak ada egoisme, overlapping, saling sikut, ‘rebutan makanan’ atau sikap-sikap individualis, dll. Setiap menemukan rezeki selalu digotong-royong ke sarang, disimpan lalu dibagi-bagi. Begitu terus setiap hari. Organisasi semutpun melaju stabil.
Kunci kesuksesan semut dalam melestarikan organisasi/kelompoknya, setidaknya, terletak pada 2 hal: pertama, tanggung jawab mengemban amanah begitu meresap dalam setiap anggota yang terlibat dalam organisasi. Begitu meresap, sehingga mereka melakoni setiap peran, menempati pos kerjanya dengan enjoy dan tanpa ada tekanan. Menyelesaikan tanggung jawabnya baru melihat-menilai kerjaan anggota lain. Sehingga iklim kerja bisa padu selaras dalam rangkaian yang indah.
Kedua, rasa empati (sense of belonging) yang tinggi. Kelompoknya adalah satu koloni mungil yang menggantungkan kekuatan hanya pada persatuan dan kesepahaman gerakan. Satu visi misi yang diimani bersama. Para kawanan semut sadar, jika satu saja fungsi kerja dilalaikan, maka kelangsungan hidup akan terancam.
Mereka sangat mengerti makna memiliki. Bahwa koloni semut itu adalah inventaris yang wajib dijaga bersama-sama. Tidak ada private property. Dengan cara apapun, kepemilikan itu haruslah dipertahankan. Bila perlu adu fisik dengan lawan yang hendak mengganggu. Rasa memiliki yang tinggi inilah yang memungkinkan semut bisa akur sesama pegiat komunitasnya.
Kita bisa melihat dengan telanjang, setiap mereka selalu berpapasan tak pernah lupa untuk sakadar berhenti dan ‘say hello’. Meski terlihat sepele, pengaruhnya luar biasa. Antar semut tertanam empati yang pada gilirannya menumbuhkan simpati. Efek positifnya, jiwa kekorsaan betul2 terinternalisasi. Setiap semut satu sakit, semuanya akan merasakan sakit. Satu semut dizalimi, maka seluruh semut akan membela mati2an. Satu untuk semua, semua untuk satu, demikian Jenderal (purn) Wiranto berfilosofi.
Bagi sebuah organisasi hal ini penting sekali, terutama dalam upaya konsolidasi dan/ atau penguatan kelembagaan. Jika ada anggota yang melakukan kesalahan, tidak serta merta dicacimaki, tapi bangunkan dengan peringatan. Berikan kritik konstruktif yang semata bertujuan baik.
Akhirnya organisasi jadi kuat, bermutu, dan memiliki bargaining position yang tinggi, meskipun lemah dalam hal jumlah. Ingat, bagaimana gabungan kekuatan semut yang kecil mampu menghentikan perlawanan Gajah yang over estimated dengan kebesarannya lalu mencoba menganggu ketentraman desa semut.
Mengapa kita tak mencontoh semut, mengadopsi sistem manajemen mereka dalam mengatur jalannya organisasi. Dalam kelompoknya, semut pun memiliki hierarki pimpinan-bawahan. Namun itu tak terlalu berpengaruh karena pada prinsipnya pimpinan-bawahan tidak harus terpasung pada dikotomi yang menjurus polarisasi sempit dan membatasi. Inilah yang harus dipahami.
Dari dua kunci kesuksesan semut di atas, tak perlu malu mengaku, masih jarang diantara kita yang memilikinya. Kadang, hanya karena kepentingan kita tak terakomodir; tak terpilih dalam perebutan kursi ketua; tak mendapat jatah jabatan; usulan tidak direspon, dll. lantas dengan mudahnya memutuskan keluar dari kelompok dan memilih jadi oposan. Maka kitapun sering dengar istilah2 yg mencerminkan rivalitas tak sehat: pkb kuningan-pkb ciganjur; ppp hamzah-ppp reformasi; hmi dipo-hmi mpo; dsb.Naifnya lagi, kita sering melakukan itu dengan alih-alih sebagai penyeimbang, sebagai watch dog, atau menjalankan fungsi kontrol, dlsb.
Jika memang sudah bulat berniat menjadi anggota sebuah kelompok/organisasi/masyarakat, maka sudah sepantasnya dengan rela menerima peran yang diberikan. Atau kalau memang jadi oposan, jangan kemudian apriori –apalagi prejudice — terhadap semua langkah yg diambil ‘lawan’ kita. Jangan malu untuk ikut mendukung apabila memang langkah tsb bermanfaat utk umat.
Tirulah semut yang nrimo ing pandum dan mensyukuri ‘kekecilannya’. Untuk menguati organisasinya, ia membuang sifat egois dan lebih suka memilih altruis. Mereka rela diposisikan dimana saja, walau sebagai pekerja yang notabene berstrata rendah. Jika kita sudah memiliki tanggung jawab dan empati seperti sifat semut di atas, maka yang ada hanyalah kebaikan: saling memberikan dukungan, mengingatkan dengan santun tanpa amarah, keterbukaan seluas2nya, konflik diminimalisir (tdk harus dimatikan), menepikan interest pribadi dalam mengusulkan ide2 bernas, mendahulukan keutuhan organisasi, dan banyak lagi.
Memang tidak mudah mewujudkannya, tapi juga tidak mustahil apabila sekali2 dicoba. Sebagai a

semut itu kecil tapi mampu memberdayakan potensinya: kecil k-lo satu/ banyak jadinya heeebooohh. Cocok dg kondisi aws/himmarfi yg carut marut karena gegeran antar warganya sendiri, sudah kecil keropos lagi. Atau indonesia saat ini wis susah, miskin, ijik direbeti tukar padu antar pengamat, cakar2an politisi, diedel2 gerakan separatis, dsb Tirulah semut. Kecil tapi jadi satu. rukun agawe santosa akur agawe makmur.
kerukunan semut itu berporos pada 2 prinsip: empati dan tanggungjawab kolektif. Memahami peran, fungsi dan tugas dalam kelompoknya sehingga tercipta suasana kerja yg harmonis tertata.
pertanyaan retoriknya: mengapa kita tak mencoba meniru semut? Kerja diam-diam tanpa banyak bicara mubazir. Tak usah menebar banyak cemoohan. Saling mengingatkan bila melihat kawan yang keliru berprilaku/menyimpang dari visi-misi organisasi. Pada akhirnya lembaga kuat, baik ke dalam maupun ke luar. Karena semua anggota guyub melu handarbeni.
Semuanya diarahkan demi pencapaian organisasi yang maju dan kuat luar dalam. Tinggal bagaimana niat kita mewujudkannya. Tentu saja harus dimulai dari sekarang, dari hal-hal kecil. Sekecil fisik semut yang mungil. BERANI MENCOBA??
No comments:
Post a Comment