Thursday, May 19, 2011

Belum Beriman

Surabaya Post, Kamis (19/5/2011)

"Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Qs. Al Hujurat : 15)

Bagaimana perasaan Anda jika ada yang mengatakan bahwa Anda belum beriman? Diam saja? Bertanya menolak? Ataukah marah? Bagaimana jika yang bersabda itu firman Allah dalam Al Quran, kitab suci yang kita imani? Bagaimana bila yang berbicara itu Rasulullah melalui hadisnya?? Masihkah kita nekat mendebat?

Pertanyaan gugat reflektif seperti itu sangat disarankan untuk mencerdaskan nalar kritis kita. Terutama bagi yang merasa sudah baik-baik saja semua perilakunya dan yang telah lama merasa mapan di zona kenyamanan “orang beriman”. Pertanyaan retorik itu sekaligus akan berfungsi sebagai perangkat gugus kendali mutu kualitas iman kita sebenarnya. Pada akhirnya, diri ini akan diakrabi perenungan yang menundukkan kesadaran, bukan semata nafsu membenarkan pribadi dan gampang menyalahkan liyan.

Sebagaimana petikan ayat 15 surat Al Hujurat, bahwa pengakuan beriman orang Arab Badui itu dimentahkan Allah dengan jawaban “belum beriman”. Sekadar diketahui Arab Badui merupakan sebutan bagi suku pedalaman yang karakter dan budayanya lekat dengan ciri primitif. Pada jaman Rasulullah, mereka ini kebanyakan beriman karena terpengaruh arus massa, bukan karena kesadaran pribadi yang terbuka dari dari lubuk hatinya.

Karena itulah, klaim beriman yang mereka ajukan, dikoreksi Al Quran dengan cukup kalimat “baru tunduk”. Ya, mereka Arab Badui itu mengaku beriman karena ikut-ikutan orang kebanyakan yang telah menerima dakwah Islam.

Sekarang mari kembali menengok keadaan iman kita, kebanyakan orang Indonesia. Caranya dengan mencocokkan ciri perilaku iman yang ada di dalam Al Quran dan teladan Al Hadis. Tersebut di QS. 2 : 165, orang beriman sangat mencintai Allah melebihi apapun. Sudah begitukah cinta kita hanya kepadaNYA?

Di ayat lain, ciri iman adalah gemetar hati saat mendengar nama Allah disebut. Lalu cocokkan, apakah gemetar hati kita saat disebut namaNYA? Atau malah cengengesan guyonan setelah ribuan kali ikut pengajian?

“Belum beriman seseorang hingga ia mencintai diri lain seperti ia mencintai diri sendiri”. Jika berkaca dari hadis sahih nan masyhur ini, sudahkah perilaku kita seperti itu? Jika Rasulullah pernah membezuk sakit seorang musyrik Makkah yang tiap hari meludahi beliau, pernahkah kita mencoba meniru?

Jika Rasulullah setiap hari menyuapi makan pengemis buta Yahudi di pasar madinah, padahal setiap saat pengemis itu mencaci maki nama beliau, bisakah kita meneladaninya?? kapan terakhir kali kita memaafkan orang yang menyakiti kita? Atau bahkan menjenguk dan menyuapi saat ia sakit?

Pada teladan yang ditunjukkan Rasulullah itulah, praktik riil dari hadis yang penulis kutip di atas. Sebuah karya kemanusiaan yang steril dari syahwat kepentingan pencitraan. Semua hanya diniati sebagai pembuktian nilai dan kualitas iman. Bahwa semakin tinggi peradaban iman, kian sayang dan kasih pula perilakunya kepada sesama. Hilang perasaan dendam, amarah, sakit hati, yang ada hanya permaafan dan penyadaran.

Sekali lagi pertanyaan yang harus kita renungkan, “sudahkah kita seperti itu?”. Kalau jawabannya belum, maka sepatutnya kita sadar, ternyata kita “belum beriman”.

Pada QS. 32:15-16, orang beriman terbukti dari sifatnya yang “apabila diperingatkan dengan ayat Allah, mereka menyungkur sujud”. Mereka merasa terkena sorotan ayat dan menangis taubat. Ciri lainnya, mereka jarang tidur karena ibadah sosialnya tinggi, melayani sesama manusia, dan tentunya karena kuat berdoa di mana/kapan saja. Sehingga waktu tidurnya sangat terbatas. Apakah “kondisi iman” kita sudah mencapai taraf seperti itu?

Lagi, kita bisa menguliti iman ini dengan “pisah bedah” Al Quran. Orang beriman sangat gandrung akhirat. Karena kampung abadi dan rumah sejatinya ada di sana. Maka ia pun berlomba investasi amal sosial di dunia ini, agar bisa mendapat panen pahala sebanyak-banyaknya di akhirat nanti. Untuk itu, ia berani menghibahkan bahkan semua kepemilikannya untuk menolong dan membahagiakan sesama manusia.

Saat lapang atau sempit, ketika susah maupun senang, ketika punya atau paceklik, orang beriman harus selalu siap memberikan dharma-bhaktinya untuk perjuangan kemanusiaan. Harta, tenaga, pikiran dan bahkan nyawanya sukarela ia serahkan pada agama, bangsa dan negara. Para Rasul dan sahabat sudah melaksanakan ciri iman ini. Nah, kita bagaimana?

Jangan sampai di saat wafat, klaim iman kita tercatat malaikat hanya bergaung di bunyi rukun dan syahadat. Kita mengaku beriman, meyakini kebenaran Al Quran, memuji teladan kebaikan para utusan, sementara di saat yang sama kita sengaja berperilaku kafir, mengingkari kebenaran Al Quran serta menolak meniru teladan baik dari Rasulullah.

Praktiknya, kita belum beriman. Bisa jadi iman kita cuma mengaku seperti Arab Badui itu. Iman yang sekadar ikut-ikutan orang kebanyakan atau karena warisan ajaran dari handai tolan. Belum iman yang sesungguhnya iman.

Makanya penulis mengajak, mari kita berhati-hati karena Allah sudah mewanti-wanti peristiwa ini melalui redaksi surat kabarNYA yang terpercaya:

“Dan diantara manusia ada yang mengatakan, “Kami beriman kepada Allah dan Hari Akhirat”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.” (QS. Al Baqarah : 8 ).

Sumber
http://surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=46e3e675b53702b430a60d52ac8e92b5&jenis=182be0c5cdcd5072bb1864cdee4d3d6e

No comments: