Monday, December 17, 2012

I'll be back

Sudah lama saya tidak lagi mengunjungi blog perdana ini. Awal saya membikinnya di Aceh, 2006 silam, saya begitu menggebu untuk curhat apa saja di dunia maya. Namun sejak saya pindah ke wordpress, blog ini seolah merana keberadaannya. Apapun, saya akan kembali lagi ke sini, rumah semula saya beralamat di dunia maya. Bismillaah

Thursday, May 19, 2011

Soekarno, Soedirman, BlankOnan (2)

Melahirkan Asa, BlankOn untuk Mendunia

Detikinet, Kamis, 19/05/2011


Bicara mimpi dan harapan, penulis cukup logis berharap para pemuda Indonesia bisa mengguncang dunia sebagaimana bunyi janji Soekarno di awal tulisan ini. Melalui perjuangan gerilya BlankOnan Indonesia, selanjutnya ASEAN dan dunia.

Bersemangatlah seperti Soekarno yang menampilkan kepemimpinan Indonesia lewat momentum Konferensi Asia Afrika. Bersakit-sakit dahulu seperti Jenderal Soedirman yang berjuang dari atas tandu.

Tak berlebihan bila penulis memunculkan asa BlankOn akan mendunia. Kenapa tidak? Potensi penduduk Indonesia yang mencapai 250-an juta adalah fakta jumlah tak terbantahkan.

Asumsikan saja sepertiganya BlankOnan, maka akan ada 70-an juta komputer bersistem operasi buatan Indonesia yang menyapa dunia. Jumlah sebanyak itu akan bikin vendor hardware ngiler dan memaksa mereka mendukung ketersediaan fitur ‘pasang & pakai’ agar diterima di sistem operasi BlankOn. Cukup adil bukan?

Jangan lupa wilayah Sabang sampai Merauke itu sepadan dengan bentang London hingga Moskow lho. Jadi setidaknya, kita mampu menguasai wilayah seluas Eropa, jika saja mau BlankOnan sekarang juga. Setidaknya lagi, peringkat BlankOn akan naik beberapa strip mendekati popularitas Ubuntu di klasemen distrowatch.

Bagi pengguna pemula, tak perlu berkecil hati dulu dengan keterbatasan BlankOn. Karena sistem operasi sekakap proprietary pun masih terdapat cacat dan banyak celah lemah. Buktinya keamanan closed source yang mereka janjikan masih bisa dibajak plus rentan virus.

Tentang kesulitan, semua juga diawali begitu. Bahkan Steve Jobs pun mengawali lapak ‘apel growak’ dengan banyak ditolak dan konsep UNIX yang dianggap kurang menarik. Jadi, optimistis dan bersyukurlah dengan fitur BlankOn yang terus dikembangkan ini.

Ada beberapa ikhtiar yang bisa diperjuangkan bersama agar BlankOn bisa jadi pilihan utama sistem operasi komputer di Indonesia dan dunia.

Pertama menjadi pengguna, ini tingkatan paling mudah dan bisa dimulai sekarang juga. Kedua, setelah mapan jadi pengguna, jadilah penganjur BlankOn ke keluarga dan kerabat terdekat Anda. Adakan sosialisasi lewat arisan dan atau pelatihan kecil-kecilan.

Ketiga, menjadi donatur, sisihkan rejeki Anda untuk ongkos R&D BlankOn supaya kian sempurna. Boleh juga Anda mengupah lelah para pengembang yang bekerja sukarela. Pada aksi advokasi terkecil, silakan jualan menawarkan kaos dan aneka suvenir BlankOn.

Bila kurang ide, bisa jadikan judul tulisan ini sebagai pesan inspiratifnya. Lalu hasil jualan itu bisa disumbangkan untuk penyempurnaan BlankOn lebih lanjut.

Keempat, jika punya kemampuan oprek ekstra lebih dan waktu luang, bergabunglah bersama komunitas pengembang. Wakaf waktu dan potensi Anda ditunggu mereka. Kelima, jadilah pengeritik yang baik. Komentari BlankOn, tuliskan kelebihan fitur-fitur yang perlu duji dan dokumentasikan kekurangan yang mesti diperbaiki lagi.

Keenam, bagi yang Muslim, Anda bisa jadi pengguna sekaligus pendakwah BlankOn Sajadah. Gelar pengajian ‘Syukuran Kelahiran’ BlankOn dan para ulama bisa turun fatwa penggunaannya. Atau bisa juga sedekah biaya plus doa agar konferensi pengembang & pengguna BlankOn ‘BlankOnf #3′ di Makassar Juli nanti lancar sesuai ekspektasi.

Ketujuh, bagi pebisnis di bidang TI, Anda pun bisa turun aksi. Misalnya dengan menjual komputer sebundel OS BlankOn, menggelar promosi installfest BlankOn, atau migrasi bertahap di komputasi perkantoran. Bisa juga mendanai pengembangan varian BlankOn, misalnya versi mobile untuk mengisi peluang smartphone lokal.

Dahulu,Soekarno berjanji mengguncang dunia dengan sepuluh pemuda. Sekarang puluhan pengembang dan pengguna muda BlankOn layak mewujudkannya dengan kampanye pemasyarakatan piranti lunak buatan Indonesia.

Mimpi itu cukup membumi dan bukan sekadar utopi. Apalagi merujuk fakta BlankOn yang sudah sukses rilis jahitan beberapa kali, sehingga tidak harus memulai dari usaha nol lagi. Faktanya lagi, pengguna BlankOn Indonesia saat ini merupakan pengguna BlankOn terbanyak di dunia.

Sebagai pembanding, Twitter dan Facebook sukses memanfaatkan ratusan juta jumlah manusia Indonesia duduk di daftar 3 besar pengguna media jejaring sosial dunia. Nah, jika mereka bisa, mestinya BlankOn yang lebih berasa Indonesia layak berharap juga. Coba kita mulai dengan target ajakan ’1 pekan 1 BlankOnan’, sudah lumayan bukan?

20 Mei yang bertepatan dengan peringatan Kebangkitan Nasional cocok kita gelari aksi permulaan kebangkitan piranti lunak Indonesia melalui kampanye BlankOnan. Jika lagu ‘Udin Sedunia’ bisa mondial dengan lirik lucunya, maka tak perlu malu bergerak mengikuti langgam suksesnya.

Misalnya saja beri julukan hiburan BlankOnudin bagi pecinta BlankOn sedunia yang setia. Saya mengawal dari desa, insyaAllah optimisme BlankOnan bisa membangkitkan Indonesia, dan semoga begitu pula Anda!

Sumber:

http://www.detikinet.com/read/2011/05/19/125257/1642403/398/melahirkan-asa-blankon-untuk-mendunia?i991103105

Soekarno, Soedirman, BlankOnan (1)

Sebuah refleksi dan ikhtiar jelang BlankOnf#3 Juli di Makassar

Detikinet, Kamis, 19/05/2011

“Beri aku seribu orang, dan dengan mereka aku akan menggerakan Gunung Semeru! Tapi berilah aku sepuluh pemuda bersemangat, maka aku akan mengguncang dunia,” (Pidato Ir. Soekarno dalam Kongres Pemuda Indonesia 1932 di Surabaya)

BlankOn adalah sistem operasi (operating system) komputer berbasis Linux yang dikembangkan oleh Yayasan Penggerak Linux Indonesia (YPLI) dan tim pengembang BlankOn. Seperti tertulis di situs www.blankonlinux.or.id, fitur BlankOn mampu menghadirkan varian Linux yang sesuai kebutuhan pengguna komputer umumnya di Indonesia, terutama dunia pendidikan, perkantoran dan pemerintahan.

Dari distro Linux nasional inilah, penulis mulai belajar mengakrabi dunia FOSS sejak 2008 sampai sekarang. Lontara adalah kode rilis BlankOn yang pertama penulis coba. Sebagaimana jamaknya turunan distro Debian berbasis GNOME, BlankOn relatif mudah digunakan. Selain nilai plus bebas virus, pengguna juga bisa tahu dan belajar bahasa kode –secara sederhana melalui perintah di terminal — yang selama ini belum diketahui.

Bagi pemula di dunia komputer, BlankOn menawarkan tahapan pembelajaran komputasi dari nihil hingga level terampil. Sebagaimana akronim-nya yang terdiri dari dua kata ‘Blank’ dan ‘On’. ‘Blank’ berarti ‘nihil, kosong, nubie, rookie, awam, belum paham’ dan ‘On’ yang bermakna ‘nyala, mulai belajar, berproses, terampil dan berkelanjutan‘.

Jika disatukan dalam BlankOn, akan lahir filosofi open source yang ‘selalu ikhlas terbuka menerima-memberi pengetahuan antara sesama manusia dan dan praktik pembelajaran sepanjang usia kehidupan’.

BlankOn bila diucapkan, bunyinya akan menyerupai blangkon, satu jenis topi tradisional khas Indonesia. Mungkin dengan makna itulah, BlankOn diidealkan sebagai sistem operasi khas Indonesia. Sebagaimana kepala yang menjadi tempat otak dan pusat kendali sistem operasi manusia, ia perlu diamankan blangkon. Maka semua CPU — pusat otak kendali komputer — di Indonesia pun layak dipasangi BlankOn.

BlankOn bisa jadi ikon Indonesia di ranah TI jika saja seluruh masyarakat peduli dan mau berjuang serius ke arah itu. Optimisme ini merujuk kekuatan komunitas yang terbukti lebih bergerak gegas dan cerdas meski tanpa dukungan memadai.

Teman penulis seorang pamong desa di Lamongan, nekat mengganti semua unit komputer kantor desa yang sebelumnya bersistem operasi bajakan dengan BlankOn. Tanpa menyalahkan lambannya pemerintah merespon isu IGOS, ia dengan telaten mengajari rekan-rekan pamong di kantor desanya cara penggunaan BlankOn hingga mahir.

Pengalaman serupa pernah penulis alami saat BlankOn.in 25-an laptop guru di Sikakap Mentawai 2010 lalu. Sambil mendampingi anak-anak terapi psikososial, sekaligus mengenalkan BlankOn kepada para guru di sekolah.

Dengan Bismillah dan improvisasi pendekatan, upaya itu menuai hasil membersyukurkan. Setelah penulis dampingi selama 2 hari, para guru akhirnya mau mengganti sistem operasi bajakan di laptopnya dengan BlankOn yang asli rakitan anak-anak pertiwi.

Kisah pamong desa dan penulis yang berusia 30-an tahun itu menyerupai semangat para pengembang BlankOn. Mereka rata-rata berusia muda namun kenyang dengan keterampilan hacktivist yang idealis akan semangat Indonesianis.

Di beberapa kesempatan menyaksikan ritme kerja mereka yang total ‘beramal sosial’, penulis teringat sejarah para pendiri republik ini, utamanya Presiden Soekarno dan Panglima Besar Jenderal Sudirman.

Soekarno dibesarkan sejarah dengan cita-cita merdekanya. Di awal gerakannya, mungkin ia dicibir dunia dan rekan-rekan sesama aktifis. Karena betapa mustahilnya perjuangan membuat negara yang sebelumnya tidak ada — de jure maupun de facto — menyatukan ribuan pulau, suku bahasa, dan di tengah kuatnya cengkeraman penjajah Belanda.

Tapi Alhamdulillah, berkat rahmat Allah, ikhtiar kecil itu berhasil. Indonesia menyatakan kemerdekaannya melalui pengorbanan para pahlawan dan peran politik Soekarno.

Soedirman terkenal sifatnya yang sahaja dan tegas tanpa kompromi melawan penjajah kompeni. Perjuangan heroiknya dimulai saat beliau sukses mengusir tentara sekutu NICA di palagan Ambarawa. Paling fenomenal dan mengharukan ketika peristiwa Agresi militer II Belanda di Jogjakarta.

Beliau memutuskan perang gerilya naik gunung turun rimba dalam kondisi sakit hebat setelah satu ginjalnya diangkat. Beliau memilih sengsara bersama anak buahnya daripada ditawan jadi tahanan politik pemerintahan kolonial. Atas bantuan Allah, cerita ini pun berakhir apik dengan kembalinya ibukota Jogja ke republik.

Soekarno dan Soedirman mengukir sejarah ketika usianya masih relatif muda. Soekarno diangkat jadi Presiden RI saat berumur 40an. Soedirman berumur 29 tahun ketika meraih pangkat Jenderal — puncak karir tertinggi dalam kemiliteran — dan dilantik jadi Panglima TKR atau cikal bakal TNI saat ini.

Beliau berdua mengupayakan pencerdasan bangsanya dengan ikhtiar merdeka dari keterjajahan. Keduanya ikhlas dan tegas melawan penjajahan, sikapnya sahaja penuh kesederhanaan, semangat bergerilya tanpa kenal putus asa hingga akhir usianya. Soekarno dan Soedirman dikenal sebagai pemimpin politik dan panglima militer yang kiprah strategisnya layak diteladani dunia.

Pengembang dan pengguna BlankOn dapat menapaktilasi perjuangan dua pemuda revolusioner Soekarno dan Soedirman. Kedua pahlawan kemerdekaan Indonesia itu pernah terkenal dengan tampil blangkonan. Silakan googling foto muda Soekarno dan pose keren Soedirman, nampak kupluk blangkon tradisional itu tersemat gagah sahaja di dua kepala pemimpin Indonesia.

Ya, blangkon dan BlankOn bunyinya mirip bila diucapkan. Kian relevan menyandingkan Soekarno dan Soedirman dengan pengembang dan pengguna BlankOn yang sama bersemangat muda. Keduanya berupaya sekuatnya agar bangsa ini berdikari.

Pengembang dan pengguna BlankOn yang penulis sebut ‘BlankOnan’ sedang bekerja keras agar kita bangga punya sistem operasi sendiri. Mereka ingin BlankOn.in masyarakat komputer Indonesia supaya merdeka dari monopoli kumpeni proprietary.

Soekarno, Soedirman, BlankOnan. Beda generasi tapi sama sevisi-misi. Sebuah nostalgia revolusi pertiwi yang sepatutnya disyukuri, didukung dan disemangati. Sekaligus ini penambah motivasi sebagian BlankOnan yang nyaris berpeluh di titik jenuh karena sepinya dukungan negara, masyarakat dan media.

Sumber:

http://www.detikinet.com/read/2011/05/19/113556/1642322/398/soekarno-soedirman-blankonan

Belum Beriman

Surabaya Post, Kamis (19/5/2011)

"Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Qs. Al Hujurat : 15)

Bagaimana perasaan Anda jika ada yang mengatakan bahwa Anda belum beriman? Diam saja? Bertanya menolak? Ataukah marah? Bagaimana jika yang bersabda itu firman Allah dalam Al Quran, kitab suci yang kita imani? Bagaimana bila yang berbicara itu Rasulullah melalui hadisnya?? Masihkah kita nekat mendebat?

Pertanyaan gugat reflektif seperti itu sangat disarankan untuk mencerdaskan nalar kritis kita. Terutama bagi yang merasa sudah baik-baik saja semua perilakunya dan yang telah lama merasa mapan di zona kenyamanan “orang beriman”. Pertanyaan retorik itu sekaligus akan berfungsi sebagai perangkat gugus kendali mutu kualitas iman kita sebenarnya. Pada akhirnya, diri ini akan diakrabi perenungan yang menundukkan kesadaran, bukan semata nafsu membenarkan pribadi dan gampang menyalahkan liyan.

Sebagaimana petikan ayat 15 surat Al Hujurat, bahwa pengakuan beriman orang Arab Badui itu dimentahkan Allah dengan jawaban “belum beriman”. Sekadar diketahui Arab Badui merupakan sebutan bagi suku pedalaman yang karakter dan budayanya lekat dengan ciri primitif. Pada jaman Rasulullah, mereka ini kebanyakan beriman karena terpengaruh arus massa, bukan karena kesadaran pribadi yang terbuka dari dari lubuk hatinya.

Karena itulah, klaim beriman yang mereka ajukan, dikoreksi Al Quran dengan cukup kalimat “baru tunduk”. Ya, mereka Arab Badui itu mengaku beriman karena ikut-ikutan orang kebanyakan yang telah menerima dakwah Islam.

Sekarang mari kembali menengok keadaan iman kita, kebanyakan orang Indonesia. Caranya dengan mencocokkan ciri perilaku iman yang ada di dalam Al Quran dan teladan Al Hadis. Tersebut di QS. 2 : 165, orang beriman sangat mencintai Allah melebihi apapun. Sudah begitukah cinta kita hanya kepadaNYA?

Di ayat lain, ciri iman adalah gemetar hati saat mendengar nama Allah disebut. Lalu cocokkan, apakah gemetar hati kita saat disebut namaNYA? Atau malah cengengesan guyonan setelah ribuan kali ikut pengajian?

“Belum beriman seseorang hingga ia mencintai diri lain seperti ia mencintai diri sendiri”. Jika berkaca dari hadis sahih nan masyhur ini, sudahkah perilaku kita seperti itu? Jika Rasulullah pernah membezuk sakit seorang musyrik Makkah yang tiap hari meludahi beliau, pernahkah kita mencoba meniru?

Jika Rasulullah setiap hari menyuapi makan pengemis buta Yahudi di pasar madinah, padahal setiap saat pengemis itu mencaci maki nama beliau, bisakah kita meneladaninya?? kapan terakhir kali kita memaafkan orang yang menyakiti kita? Atau bahkan menjenguk dan menyuapi saat ia sakit?

Pada teladan yang ditunjukkan Rasulullah itulah, praktik riil dari hadis yang penulis kutip di atas. Sebuah karya kemanusiaan yang steril dari syahwat kepentingan pencitraan. Semua hanya diniati sebagai pembuktian nilai dan kualitas iman. Bahwa semakin tinggi peradaban iman, kian sayang dan kasih pula perilakunya kepada sesama. Hilang perasaan dendam, amarah, sakit hati, yang ada hanya permaafan dan penyadaran.

Sekali lagi pertanyaan yang harus kita renungkan, “sudahkah kita seperti itu?”. Kalau jawabannya belum, maka sepatutnya kita sadar, ternyata kita “belum beriman”.

Pada QS. 32:15-16, orang beriman terbukti dari sifatnya yang “apabila diperingatkan dengan ayat Allah, mereka menyungkur sujud”. Mereka merasa terkena sorotan ayat dan menangis taubat. Ciri lainnya, mereka jarang tidur karena ibadah sosialnya tinggi, melayani sesama manusia, dan tentunya karena kuat berdoa di mana/kapan saja. Sehingga waktu tidurnya sangat terbatas. Apakah “kondisi iman” kita sudah mencapai taraf seperti itu?

Lagi, kita bisa menguliti iman ini dengan “pisah bedah” Al Quran. Orang beriman sangat gandrung akhirat. Karena kampung abadi dan rumah sejatinya ada di sana. Maka ia pun berlomba investasi amal sosial di dunia ini, agar bisa mendapat panen pahala sebanyak-banyaknya di akhirat nanti. Untuk itu, ia berani menghibahkan bahkan semua kepemilikannya untuk menolong dan membahagiakan sesama manusia.

Saat lapang atau sempit, ketika susah maupun senang, ketika punya atau paceklik, orang beriman harus selalu siap memberikan dharma-bhaktinya untuk perjuangan kemanusiaan. Harta, tenaga, pikiran dan bahkan nyawanya sukarela ia serahkan pada agama, bangsa dan negara. Para Rasul dan sahabat sudah melaksanakan ciri iman ini. Nah, kita bagaimana?

Jangan sampai di saat wafat, klaim iman kita tercatat malaikat hanya bergaung di bunyi rukun dan syahadat. Kita mengaku beriman, meyakini kebenaran Al Quran, memuji teladan kebaikan para utusan, sementara di saat yang sama kita sengaja berperilaku kafir, mengingkari kebenaran Al Quran serta menolak meniru teladan baik dari Rasulullah.

Praktiknya, kita belum beriman. Bisa jadi iman kita cuma mengaku seperti Arab Badui itu. Iman yang sekadar ikut-ikutan orang kebanyakan atau karena warisan ajaran dari handai tolan. Belum iman yang sesungguhnya iman.

Makanya penulis mengajak, mari kita berhati-hati karena Allah sudah mewanti-wanti peristiwa ini melalui redaksi surat kabarNYA yang terpercaya:

“Dan diantara manusia ada yang mengatakan, “Kami beriman kepada Allah dan Hari Akhirat”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.” (QS. Al Baqarah : 8 ).

Sumber
http://surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=46e3e675b53702b430a60d52ac8e92b5&jenis=182be0c5cdcd5072bb1864cdee4d3d6e

Thursday, May 12, 2011

Belum Beragama

Surabaya Post, Kamis (12/5/2011)

“Katakanlah: Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dariTuhanmu.” (Qs. 5:68)

Dari beberapa diskusi resmi, jagongan lesehan, majelis taklim, pengajian ibu-ibu arisan, maupun lingkar halaqah yang pernah saya ikuti perihal agama dan sosial, muncul tesis sementara: keyakinan agama masyarakat kita relatif baik, walau hanya terbaca dari klaim ‘benar’ sepihaknya.

Dengan segala dinamika dan anomali yang mengiringi, patutlah saya bersyukur rakyat Indonesia masih percaya kepada agama, meyakini wajibnya pengamalan kebenaran.

Semoga saja itu bermakna sila pertama Pancasila yang mengakui eksistensi keesaan Tuhan, masih kuat terpatri di hati Indonesia ini.

Nah, saat masuk pada kajian kritis tentang pembuktian keagamaan, saya sering ungkapkan ayat Al Quran sebagaimana tersaji di awal tulisan ini. Bahwa siapapun belum dianggap “beragama sedikit pun” jika belum mengamalkan isi Kitab Suci yang diyakini.

Secara sederhana, saya asumsikan “Ahli Kitab” itu adalah orang yang paham, pernah dengar kajian dan atau bisa baca tulis Al Quran, sehingga setiap Muslim akan merasa wajib ikut merenungi ayat ini.

Biasanya saya mulai gugah dengan pertanyaan, “Dari sekitar enam ribuan ayat Al Quran, berapa yang sudah sampeyan laksanakan jika itu perintah dan berapa yang sampeyan tinggalkan jika itu larangan?”. Sering jawaban yang keluar hanya mesam-mesem saja.

Beberapa menjawab, “Saya sudah laksanakan lima rukun Islam secara rutin!” Lainnya menambahkan, “plus rajin ikut majelis takliman dan sumbang kotak masjid seikhlasnya.”

“Ana minal ma’had ya ustadz,” acung seorang rekan muda bersemangat. Sepertinya ia ingin menegaskan identitas keislaman yang ia idealkan.

“Cuma itu, lalu bagaimana dengan perintah dan larangan lainnya?” tanya saya merangsek. Lagi-lagi jawaban mereka biasanya cuma senyum. Seolah baru tersadar, surat teguran Allah dalam Al Maidah 68 itu membuat pengakuan beragamanya terantuk fakta “sedikitpun belum beragama”. Karena setelah dihitung rata-rata, perintah atau larangan Al Quran yang diperhatikan hanya berjumlah puluhan sampai ratusan saja.

Ya, sebagaimana mereka, saya juga mengajak Anda untuk menjawab jujur pertanyaan ini “Sudah berapakah ayat-ayat kitab suci yang berhasil kita amalkan?” “Sudahkah pengamalan itu memberi manfaat langsung bagi lingkungan dan kehidupan sosial di tempat Anda tinggal?” “Masihkah kita ngotot mengaku beragama jika disorot ayat itu, sementara amalan kita hanya puluhan atau ratusan saja?”

Ya, harus berani dan jujur kita akui. Bahwa selama ini amalan kita masih berkutat pada rutinitas ritual yang itu-itu saja. Syahadat, sholat, zakat, puasa, haji, ditambah sedikit pintar ngaji plus gelar alim. Kadang baru hafal beberapa ayat, tapi sudah merasa mengamalkan seluruh perintah kitab suci dan agama. Sehingga pahala surga diklaim dengan enaknya dan kelompok lain yang berbeda madzhabnya gampang saja difatwa kafir-sesat-neraka.

Padahal jika berkaca dari ayat tersebut, kita ini belum beragama sama sekali. Pada contoh praktik hidup sehari-hari misalnya, sudahkah kita bisa sholat berjamaah lima waktu bersama keluarga? Sedang perintah sholat berjamaah itu wajib.

Sudahkah kita mampu mengingat Allah saat duduk, berdiri, berbaring, setiap saat? Al Quran memfirmankan dzikrullah itu keharusan. Sudahkah kita bisa meninggalkan kebiasaan marah? Karena Al Quran menganjurkan demikian. Mampukah kita menghapus dendam dan membalas perlakuan jahat seseorang dengan sikap maaf dan kasih kebaikan? Karena Al Quran jelas memerintahkan begitu.

Lihatlah, secara bahasa “agama” berasal dari khazanah Sansekerta Jawa yang bermaka”A = tidak”, “GAMA=kocar-kacir”. Bila digabung, “Agama” berarti “tidak kocar-kacir”. . Kata lain untuk menyatakan arti agama, bisa mengambil bahasa Latin “religio” dari kata kerjare-ligare yang berarti “mengikat kembali”. Semua mengerucut pada makna yang sama yakni, “teratur”, “bersistem” dan arti “kebersatuan” lainnya.

Lalu mari kita cocokkan dengan kondisi Indonesia terkini. Idealnya dengan pengertian agama dari segi bahasa itu tadi, Indonesia akan teratur, manusianya rukun agawe makmur, negara bisa tentrem kerta raharja. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Tradisi masyarakat kacau balau, politik penuh intrik, manusianya saling tuding, dan negara diambang sirna.

Bisa jadi semua pangkal persoalan ini adalah gara-gara kita sendiri. Mengaku beragama tapi sebenarnya sedikitpun belum beragama. Karena dari dua definisi “agama” versi Al Quran dan segi bahasa, kita tidak pernah melakukannya.

Pada aspek kehidupan sosial, pendidikan, lingkungan, terdapat ribuan ayat Al Quran berisi rambu-rambu “do & don’t” agar bumi dan manusia ini bergerak dalam harmoni yang serasi. Sudahkah ribuan “do & don’t” itu kita perhatikan dan laksanakan?

Bila masih sebagian kecil saja pelaksanaannya, apalagi belum pernah mempelajarinya, sebaiknya tunda dulu pengakuan beragama itu. Tunggu sampai Anda bisa membuktikannya dengan cara mengamalkan seluruh isi kitab suci yang Anda yakini. Ingat, kita beradu dengan batas waktu dan ada musuh ghaib setan yang berupaya keras menyesatkan pengamalan kebenaran.

sumber:
http://surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=39b8faaf928ad46f59df7c4ca9ae0dce&jenis=182be0c5cdcd5072bb1864cdee4d3d6e

Perangi Pembajakan dengan Face Off & FOSS On

Detikinet, Senin (9/5/2011)

Pada peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei lalu tersiar kabar bahwa Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) menandatangani nota kesepahaman dengan satu vendor piranti lunak proprietary. Spekulasi pun merebak, terutama di komunitas penggiat Free Open Source Software (FOSS).

Mereka berasumsi Kemendiknas kini beralih kemudi menyupiri proprietary. Onno W. Purbo, salah satu 'imam' gerakan FOSS Indonesia, menuliskan bela sungkawa di akun Twitter-nya 3 Mei lalu. "Turut berduka cita atas ditandatanganinya kerjasama M$ + MENDIKNAS :(((," kicau Onno, prihatin.

Seolah menghibur kekhawatiran pegiat FOSS itu, kabar gembira berhembus dari ujung barat Indonesia. Melalui tweet seorang rekan, penulis terhubung ke pranala berita "Kodim Pertama di Indonesia yang Menerapkan Open Source". Antusiasme sangat terlihat dari kalimat pembuka berita yang ditulis pewartanya, "Tidak mau kalah dengan Departemen Pertahanan Amerika, Kodim 0106 Aceh Tengah sejak pertengahan April 2011 lalu resmi bermigrasi menggunakan Open Source untuk mendukung proses administrasi di Makodim 0106".

Sebagaimana penulis, rekan-rekan di Makodim 0106 Aceh Tengah yang sukses migrasi ke FOSS tentu butuh tekad, komitmen dan kemauan kuat. Apalagi bila dari awal kenal komputer sudah dibiasakan memakai sistem operasi dan program aplikasi proprietary. Perlu tambahan keberanian untuk memantapkan pilihan Open Source. Tekad prinsip taat, kemauan patuh aturan dan komitmen memulai pilihan legal, itu kuncinya.

Mengenai tekad, kemauan dan komitmen migrasi ke legal FOSS ini, penulis sering mengibaratkan dengan proses Face-Off. Sebagaimana seseorang ketika menyadari mukanya picak, bopeng, penyakitan terserang virus, dan kelihatan bolong-bolong menakutkan, satu-satunya alternatif penyembuhan yang mungkin ia pilih adalah operasi ubah wajah. Face-Off transplantasi total sistem saraf, rekonstruksi kulit dan otot akan membuat wajahnya kembali biasa senormal manusia lainnya.

Demikianlah wajah buruk rupa pembajakan piranti lunak pengguna komputer Indonesia. Alih-alih ingin nyaman, praktis serta bergaya seperti pemilik komputer umumnya, pengguna piranti illegal proprietary ini malah menampilkan 'wajah bajak laut' yang picak, kulit bolong-bolong menakutkan, penuh virus dan penyakitan.

Satu-satunya tindakan cepat darurat yang bisa menyelamatkan adalah operasi face off. Transplantasi total sistem operasi, rekonstruksi ganti 'wajah' FOSS yang lebih manusiawi setelah kemarin lama terlihat mengerikan dengan 'wajah bajak proprietary'.

Galibnya operasi face off akan sulit, sakit, dan berbiaya mahal. Tapi untungnya operasi ganti wajah FOSS ini justru mudah, tidak sakit dan berbiaya murah. Karena pakar FOSS 'spesialis bedah face off' dari seluruh dunia tergugah mempermudah.

Mereka sukarela melayani pemula FOSS, sehingga kesulitan bisa diatasi. Juga relawan lokal yang handal turut membantu. Para pekerja sosial TI ini bekerja sukarela sehingga biaya face off 'ganti wajah' bisa dipermurah.

Terkait face off itu, ada pekerjaan besar dan gegas menanti para pegiat FOSS Indonesia. Pertama, beradu waktu menyukseskan target IGOS yang tahun ini mau lewat tenggat. Kedua, advokasi sekaligus edukasi institusi pendidikan hingga level desa agar mereka lebih memilih FOSS yang murah, mudah, dan sah. Ketiga, perluasan jejaring, pengembangan strategi dan kemudahan penyediaan akses informasi (help desk) FOSS.

OS Anda FOSS On Juga kan?

Pekerjaan besar karena cakupan wilayah dan jumlah institusi pendidikan di Indonesia begitu melimpah. Gegas karena harus adu cepat dan pintar sebelum mereka terpapar strategi jeli vendor piranti lunak proprietary, terutama setelah MoU kemarin itu.

Kemauan, kesadaran, dan kemauan. Itulah yang harus dipaksa-tumbuhkan di masyarakat pengguna komputer Indonesia. Karena betapapun perangkat hukum sudah diundangkan, ketersediaan pilihan FOSS yang sesuai psikologi 'belanja murah' orang Indonesia, tetap saja pembajakan piranti lunak proprietary merajalela. Maka sekali lagi, kemauan untuk berubah, kesadaran mau di-face off, kemauan memilih 'be legal' atau 'ganti wajah' inilah yang harus terus didorong diperkuat.

Selanjutnya pertanyaan yang harus dijawab aksi penggiat FOSS saat ini adalah, "Berapa anggota keluarga/saudara Anda yang sudah di Face-Off? Berapa daerah yang Anda telah jamah? Sekolah mana saja yang sudah Anda FOSS-kan? Strategi marketing apa saja yang Anda terapkan untuk dakwah FOSS? Siapa saja tokoh masyarakat dan pemuka agama mendukung FOSS? Komunitas jejaring mana saja yang Anda libatkan untuk penguatan? Bagaimana Anda mempermudah penjelasan FOSS ke masyarakat awam?"

Jadikan kabar keberanian institusi TNI yang bermigrasi ke Open Source itu penebal optimisme: masih ada relawan TNI yang akan mengawal IGOS hingga suksesnya. Mari berasumsi kisah sukses Makodim 0106 Aceh Tengah ini akan diikuti Kodim, Koramil dan seluruh anggota TNI lainnya dari Sabang sampai Merauke. Semoga, sukses TNI melumpuhkan pembajak Somalia mengilhami pelumpuhan pembajak di negeri sendiri.

Tetap jaga harap, sebagaimana kicau semangat Onno W. Purbo di tweet hari Ahad (8/5/2011) mengomentari berita bermutu dari Aceh itu. Penulis pun berharap para pegiat FOSS bergerak telaten dari keluarga, komunitas tedekat, adik-adik pelajar, guru-guru di sekolah, tokoh masyarakat, bapak-bapak pejabat, dan rekan-rekan media.

Didik dan ajaklah mereka agar mau mendukung operasi "Face-Off, FOSS ON". Matikan penggunaan piranti bajakan, hidupkan FOSS yang lebih bercorak ke-Indonesiaan! Sekaligus bertepatan gelaran KTT ASEAN, kita perkuat jejaring komunitas agar Indonesia kian dipercaya menjadi pelopor pengguna dan pengembang FOSS di Asia Tenggara.

Langkah segera dan sederhana bisa dimulai sekarang juga. Bagi Facebooker, Tweeps dan YouTuber, unggah berita FOSS sebanyak-banyaknya. Penuhi jejaring sosial media dengan kabar sukses implementasi FOSS di Indonesia. Blogger bisa membagi praktik terbaik oprek FOSS di halamannya. Komunitas NGO bisa bergabung mendukung gerakan sosial Open Source serupa "Make it FOSSible" yang dihela Yayasan Air Putih Jakarta.

Semangatlah pegiat FOSS semuanya dimanapun Anda berada. Maju terus IGOS! Face Off, FOSS On!. Harapan penulis nantinya, jika tidak bisa semua, maka cukuplah sepertiga pengguna komputer di Indonesia akan migrasi ke FOSS secara sukarela. Menarik kita tunggu antar pengguna FOSS itu saling salam sapa sembari menirukan gubahan iklan, "OS Anda FOSS On juga kan?”


Sumber
http://www.detikinet.com/read/2011/05/09/092456/1635205/398/perangi-pembajakan-dengan-face-off-foss-on

Friday, May 06, 2011

Belum Baik

“Kamu tidak akan memperoleh (derajat) kebaikan sebelum kamu menginfakkan sebagian (banyak) harta yang kamu cintai. Dan apa yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah Maha Mengetahui.” (QS. 3: 92).

Ayat ini diwahyukan pada saat Rasulullah sudah menetap di Madinah. Diriwayatkan dalam hadis, sesaat setelah mendengarkan ayat 92 Surat Al Imran ini dibacakan, Abu Thalhah langsung menghadap Rasulullah. Sahabat berperilaku lemah lembut ini mantap menyerahkan harta yang paling dicintainya, yakni kebun kurma “Bairaha'” kepada Rasulullah untuk dimanfaatkan sebagai pembiayaan perjuangan.


Kebun “Bairaha'” saat itu terletak di depan masjid Nabawi Madinah. Letaknya strategis di pinggir jalan raya, pun hasilnya selalu melimpah dan pemandangannya terkenal sangat indah. Bagi para petani Madinah, kebun serupa “Bairaha'” adalah investasi ekonomi yang menjanjikan keuntungan berlipat ganda di dunia. Namun bagi Abu Thalhah, investasi akhirat jauh lebih mendatangkan manfaat, berbunga syafaat dan berjangka selamanya, yaitu dengan cara menyedekahkan harta “Bairaha'” tercintanya itu kepada kepentingan sosial.


Abu Thalhah meyakini jika kebun itu tertinggal di dunia dan tidak disedekahkan, mungkin hanya akan jadi hiasan atau seonggok warisan bagi keluarganya saja. Tapi bila didermakan, akan lebih banyak manusia selain keluarganya bisa menikmati hasil kebun itu.


Pelajaran yang bisa kita petik adalah jangan mudah mengaku baik bila belum bisa mengamal-baktikan perintah ayat tersebut. Jangan gampang mengklaim sebagai orang benar jika sampai saat ini belum bisa meniru teladan keikhlasan Abu Thalhah. Lakukan koreksi sekaligus otokritik atas klaim kebaikan kita sendiri, bila belum mampu ikhlas menyedekahkan harta yang paling kita cintai untuk kebutuhan agama, bangsa dan negara.


Pengertian kebaikan yang selama ini melekat terbatas pada ritual formal seperti syahadat, sholat, zakat, puasa, haji, pintar ngaji, terkenal alim, perlu kiranya diperluas lagi. Betapa dengan renungan ayat itu, kebaikan ternyata dicirikan dengan amal sosial berwujud pengorbanan yang tidak ringan. Bahwa rukun penyaksian kebenaran yang diucapkan lisan haruslah dibuktikan lewat serangkaian ujian ketat. Tidak cukup hanya dengan klaim sepihak saja. Simaklah ayat Allah berikut ini:


“Bukanlah kebaikan itu menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, tetapi kebaikan itu siapa yang beriman kepada Allah, Hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan Nabi-nabi, dan memberikan harta yang paling dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir (ibnu sabil), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya....”. (QS. 2 : 177)

Ayat ini kian tegas menjelaskan pengertian kebaikan dilihat dari aspek fungsi sosial manusia dan lingkungannya. Artinya kebaikan yang kita akui haruslah berdampak manfaat langsung bagi persoalan sosial dan lingkungan di sekitar tempat tinggal. Ritual formal seperti sholat yang bersifat komunikasi transendental seyogyanya ditindaklanjuti amal aksi individual maupun komunal menjawab persoalan sosial yang akut di negeri ini.


Dengan kalimat pertanyaan sederhana, “Sudahkah kita pernah menyedekahkan mobil, rumah, sawah, sepeda motor, deposito, asuransi, koleksi perabotan, hasil pekerjaan, pakaian dan makanan yang kita cintai untuk upaya pengentasan anak yatim, pemberdayaan keluarga miskin, penyediaan rumah singgah bagi musafir, penyediaan keterampilan kerja alternatif bagi peminta-minta, dan advokasi penghapusan perbudakan?”


Penyelesaian “PR” kebaikan yang disebutkan dalam potongan ayat itu sangat relevan dengan kondisi sosial dan faktual bangsa kita, Indonesia. Terutama yang terakhir disebut, yakni “memerdekakan hamba sahaya”. Kemarin kita dengar kabar dan pirsa di media tentang ribuan TKW Indonesia yang telantar di Arab Saudi dan sudah dijemput oleh pemerintah.


Nah, bagi kita yang mengaku baik, mengklaim alim, bersyahadat Islam, menyuarakan rukun iman, apa aksi kita menyahuti persoalan TKW itu setibanya mereka di tanah air? Sudahkah terpikir oleh kita rupa kepedulian yang akan kita dharma-baktikan? Bagaimana mengurus nasib pekerjaan dan keberlanjutan hidup mereka selanjutnya? Siapa yang mau memberi terapi psikososial atas trauma yang mereka sandang? Apa yang kita lakukan untuk menyikapi kasus “unwanted pregnant” yang terpaksa diterima oleh ibu-ibu TKW itu? Siapa yang mau bertanggung jawab memperjuangkan kejelasan identitas sekaligus mengurusi kelahiran bayi-bayi tak berbapak itu?


Selain persoalan tersebut, carut-marut akibat patologi sosial yang mendera bangsa ini, juga perlu dicarikan obatnya. Itulah lahan pembuktian bagi kita yang mengaku beriman dan memahami arti kebaikan.


Persoalan warga miskin yang tak mampu berobat, mahalnya biaya pendidikan, kasus anak gizi buruk, ancaman rawan pangan, bencana alam, dilema keberadaan kaum urban dan tata perkotaan, degradasi moral, matinya kerelawanan sosial, nasib rentan usaha pertanian, dst itu semua adalah pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan segera.


Ada seratusan juta lebih populasi pribadi yang mengklaim Muslim di keluarga Indonesia. Saya percaya mereka adalah orang-orang baik yang ditakdirkan Allah lahir untuk mengabdi-layani bangsa ini. Mari berasumsi, ratusan juta orang itu ikhlas bergerak serempak dalam satu barisan kerukunan mengatasi persoalan sosial, lingkungan, dan pendidikan.


Betapa hasilnya akan sangat membersyukurkan. Betapa ulama, umara, masyarakatnya, semua berlomba kebaikan dalam satu ikatan kemanusiaan dengan semangat berkorban. InsyaAllah negeri ini akan kembali dirahmati.


Tak perlu menunggu mimpi tinggi punya kekayaan “Bairaha'” seperti Abu Thalhah untuk segera bersedekah. Karena patokan kebaikan itu bukan hanya diukur dari jumlah materinya, tapi nilai pengorbanan dari cinta kepemilikan yang diberikan. Bagi yang tak berpunya, bisa menyumbang tenaga dan pikiran, itulah yang dikorbankan.


Mengingatkan orang bersalah –dengan hati bening, kasih tanpa marah-- juga bagian dari kebaikan. Sampai misalnya tidak punya tenaga, doa ikhlas sekuatnya dapat juga disumbangkan untuk penyejahteraan negara ini. Juga tak perlu menanti perintah tupoksi, karena itu akan buat kita saling menunggu dan bahkan bisa dihasud setan agar kita saling menyalahkan.


Sudah sewajibnya kita bersyukur diberi Allah kemauan mengaku baik dan beriman. Tapi berkaca dari firman Al Quran dan kisah kebun “Bairaha'” Abu Thalhah, kita belum akan dianggap baik jika masih belum mampu memberikan kepemilikan yang paling kita cintai untuk kebutuhan agama, bangsa dan negara.


Semoga catatan ini menjadi renungan yang relevan kita kampanyekan terutama memperingati Hari Pendidikan Nasional 2 Mei lalu. Jadikan diri kita, keluarga atau komunitas terdekat kita sebagai madrasah pembelajaran kebaikan melalui praktik keteladanan berkorban demi kemanusiaan dan keIndonesiaan.